
Pendahuluan
“Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan;
jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk.1:38). Ungkapan tersebut lahir
dari ketulusan hati sang ibu yaitu Maria sendiri. Dengan menerima tawaran Allah,
ia bersedia menjadi Hawa baru bagi semua bangsa. Rahimnya yang suci menjadi
tempat bagi Sang Sabda Ilahi yang kemudian menjadi korban penebusan bagi
seluruh dunia. Itulah sebabnya, segala keturunan menyebutnya berbahagia karena
Yang Mahakuasa menyatakan perbuatan besar kepadanya(Lih. Luk. 1:48b-49).
Maria dipenuhi rahmat untuk mengandung,
melahirkan, mengasuh dan mendampingi sang penebus dalam menjalankan misi
keselamatan. Ketaatan dan kesetiaan menjadi caranya untuk mengimplementasikan tugas
luhur dan mulia itu. Menjalankan kehendak Allah bukanlah hal yang mudah melainkan
ditempuh melalui jalan penderitaan(via dolorosa). Ketika Yesus
dipersembahkan, Simeon mengungkapkan ramalannya bahwa suatu saat pedang akan
menembusi jiwa Maria(bdk. Luk. 2:35). Dan memang apa yang dikatakan itu
terbukti saat ia mendampingi Yesus dalam perjalanan menuju puncak Golgota.
Hatinya makin terluka ketika menyaksikan secara langsung penyaliban dan
kematian Puteranya itu.
Sebagai manusia biasa, Maria pasti bersedih
karena Anaknya yang tak bersalah harus dihukum mati oleh para pemimpin buta.
Segala perkara ini ia simpan dalam hati dan merenungkannya. Sebab dalam fiatnya
sudah dengan jelas menunjukkan kesiap-sediaan untuk memenuhi tawaran Allah
dengan penyerahan diri, kesetiaan dan ketaatan. Olehnya itu ia pantas disebut
sebagai bunda Allah, karena kesuciannya, Allah berkenan tinggal di dalam dia melalui
Kristus, Adam baru yang akan berkuasa meremukkan kepala iblis(bdk. Kej. 3:15).
Inilah rahasia keselamatan yang sejak sediakala ada namun hanya dalam rupa
Firman; dan memang itu adalah Allah yang menjadikan segala sesuatu ada, dan
jika tanpa Dia maka segala sesuatu yang ada di muka bumi ini menjadi tidak ada(bdk.
Yoh. 1:1-3). Keberadaan-Nya membuat segala sesuatu menjadi ada, sehingga tak
mungkin Ia membiarkan segala yang ada itu dibinasakan. Tak ada makhluk mana pun
melebihinya, sebab di dalam Dia semua makhluk itu memperoleh kehidupan. Namun
karena seluruh makhluk telah dipengaruhi oleh kuasa jahat sehingga Ia dengan
segala kekuasaan-Nya datang sebagai terang untuk menghalau kegelapan dosa. Dan Ia pun bersedia
menjadi miskin, agar melalui kemiskinan-Nya martabat manusia diangkat dan
dipulihkan dalam darah-Nya yang Maha kudus(bdk. 2Kor. 8:9).
Refleksi tentang bunda Mari sudah
banyak dilakukan oleh para Bapa Gereja, Paus maupun teolog. Hal ini menunjukkan
bahwa Gereja secara universal mengakui, menghormati dan mengagumi sosok yang
juga terlibat dalam sejarah keselamatan. Ia mendapat tempat yang paling
istimewa oleh karena jasanya yang mulia itu. Meskipun banyak pula menolak
Maria, namun Gereja semesta tetap menerimanya sebagai Bunda penebus, bunda
Gereja, bunda seluruh ciptaan dan pula sebutan-sebutan khas lain yang mau
menunjukkan peranan Maria bagi keselamatan dunia. Tanpa mengabaikan semua
sebutan itu, penulis hanya memfokuskan percakapan tentang Maria hanya bertumpu
pada tiga ensiklik: Redemtoris
Mater, Spe Salvi dan Laudato Sii. Melalui tiga dokumen ini penulis akan mencari
pemahaman tentang Pribadi Maria serta mencoba merefleksikan dan menarasikannya
secara teologis. Maka dari itu simaklah penjabaran di bawah ini secara
bermakna.
Pembahasan
1. Ensiklik Redemtoris Mater: Bunda Penebus
Paus Yohanes Paulus II secara istimewa menulis ensiklik tentang Maria sebagai bunda penebus. Ada tiga bagian pokok yang disoroti di dalamnya, yaitu: Peratama, Maria Dalam Misteri Kristus. “Ibunda Sang penebus menduduki tempat khusus dalam rencana karya penyelamatan, karena “setelah genap saatnya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak. Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru, ‘ya Abba, Bapa!’” (Gal. 4: 4-6).”[1] Maria adalah ibu yang melahirkan Kristus sang Sabda yang menjelma menjadi manusia. Ketaatan dan keberanian untuk menerima konsekuensi dari tawaran Allah yang disampaikan oleh Malaikat Gabriel merupakan langkah awal untuk hidup bersama sang penebus. Meskipun ia belum bersuami dan pastinya menjadi aib baginya, namun hal tersebut bukanlah penghambat untuk menyerahkan diri secara total kepada Allah. Artinya fiat yang diucapkannya saat itu adalah kehendak babas untuk terlibat dalam karya keselamatan akan segera tergenapi itu.
Allah begitu mencintai manusia. Ia mengutus Putera-Nya untuk membawa pembebasan bagi yang tertawan, melepaskan belenggu dosa, memulihkan dan mengangkat martabat manusia yang dikuasai oleh iblis. Namun perlulah diketahui semua karya keselamatan mendapat maknanya di dalam kasih. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya Allah adalah kasih dan karena itu mengandung kebaikan dan kebenaran. Itulah sebabnya Ia menghendaki agar setiap orang mengenal dan berada dalam kasih yang sama itu. Dalam sejarah bangsa Israel, Ia telah berulang kali mengutus para nabi untuk menyuarakan kebenaran tentang kasih Ilahi itu, namun karena ketegaran hati tak sedikit orang menyimpang dari padanya. Akhirnya “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, ] maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak f menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud j Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar , di tempat yang tinggi, jauh lebih tinggi dari pada malaikat-malaikat , sama seperti nama yang dikaruniakan kepada-Nya jauh lebih indah dari pada nama mereka.”(Ibr. 1:1-5).
Cahaya kebenaran telah datang ke dalam dunia. Ia datang dengan kekuasaan. “Walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri , dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”(Fil. 2:6-8). Artinya apa yang dialami oleh manusia itu pula yang dialami oleh sang Putera kecuali dalam hal dosa. Karena itu tidaklah mungkin Ia yang kudus dan suci itu lahir dari rahim yang berdosa. Pastinya dia yang mengandung dan melahirkan adalah suci adanya. Siapakah dia? Maria! Dia yang sejak lahir dipersiapkan menjadi ibunda sang Penebus; dan karena itu dibebaskan atau disucikan dari dosa(Maria Dikandung Tanpa Noda). Dengan Maria pun turut berjasa dalam mengimplementasikan rahasia keselamatan bagi dunia yang tampak dalam diri Kristus, Putera-Nya.
Kedua, Bunda Allah di Tengah Gereja yang berziarah. Perjalanan atau ziarah pengembaraan Gereja melalui ruang dan waktu ini, dan malahan melalui sejarah jiwa-jiwa, Maria hadir, sebagai yang “terberkati karena kepercayaannya”, sebagai yang mendahului dalam ziarah iman, ikut ambil bagian dalam misteri Kristus.[2] Maria adalah sosok pertama yang mencintai, mengimani dan taat pada kehendak Allah. Hal ini tampak secara jelas ketika ia mengatakan: “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk.1:38). Dengan ungkapan yang sederhana ini Ia memulai perziarahan baru dalam Kehendak Allah secara khusus di dalam Gereja yang dikepalai oleh Kristus, Putera yang dikandungnya. Bukan berziarah saja tetapi juga memelihara Gereja itu sendiri. Sebab dari asuhannya yang baik dan mantap itu, menghadirkan Dia yang oleh tubuh-Nya menjadi Gereja; dan darah-Nya menjadi sakramen-sakramen atau buah-buah keselamatan yang eksistensinya secara mutlak ada di dalam Gereja itu sendiri.
Keberadaan Maria bersama dengan sang penebus membuatnya dekat dengan mereka yang sedang berziarah di dunia ini. Di tengah mereka Maria “tekun berdoa” sebagai “Bunda Yesus” (bdk. Kis. 1:13-14), Bunda Kristus yang Disalibkan dan Bangkit.[3] Sebagai bunda, tentunya pasti memiliki kedekatan dengan anak-anaknya. Hal itu telah ditunjukkannya ketika berada bersama dengan para rasul sambil menantikan turunnya Roh Kudus. Artinya bahwa dalam pelbagai situasi apa pun, Maria tetap ada dan terus ada mendoakan serta mendampingi seluruh anggota Gereja yang adalah putra-putrinya; agar mereka tetap bersekutu dengan Kristus yang menjadi kepala dan pemimpin dari semuanya.
Ketiga, Kepengantaraan Maria Sebagai Bunda. Secara umum Gereja mengajarkan kepada anggotanya bahwa Kristuslah satu-satunya pengantara antara Allah dengan manusia. Kendati demikian, bunda Maria juga mengambil peran yang sama. Artinya bahwa, Peran Maria sebagai ibu terhadap umatnya sekalipun tidak memudarkan atau mengurangi kepengantaraan Kristus yang khusus, namun justru memperlihatkan kuasanya”: yaitu menjadi perantara dalam Kristus.[4] Sebab karya keselamatan tidak terlepas dari pribadinya. Sejak awal Allah memilihnya untuk mengandung dan melahirkan sang Penebus. Hal ini menunjukkan bahwa ia sangat dekat dengan Kristus sebagai sumber keselamatan. Dengan demikian Peran tersebut menentukan dimensi sebenarnya kehadiran Maria dalam misteri penyelamatan Kristus dan Gereja.[5] Kisah biblis yang paling aktual terkait kepengantaraan Maria ialah ketika perkawinan di Kana(Yoh. 2:1-11). Di sana ia menunjukkan sikap keibuannya yaitu memperhatikan kesusahan dan kesulitan manusia dalam hal ini tuan pesat yang kehabisan anggur. Meskipun saatnya belum tiba, namun karena permintaan dari sang ibu itulah, Yesus menurutinya. Ia melakukan sebagaimana yang dimintakan oleh Maria.
Sebagai perantara antara manusia dengan Kristus, ia selalu ada bersama dengan seluruh umat manusia. Segala suka dan duka manusia selalu dialaminya sebagaimana ia turut merasakan kepedihan yang dialami oleh Puternya dalam jalan salib. Peran ibu Maria itu mengalir, sejalan dengan kebaikan Allah, “dari kelimpahan jasa-jasa Kristus; hal itu berlandaskan kepengantaraan-Nya, dan tergantung dari pada-Nya sama sekali, dan mendapatkan semua daya gunanya dari situ”[6] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Maria mengemban peran sebagai perantara bukan untuk menunjukkan kehebatannya melainkan kuasa Allah yang nyata dalam dirinya.
2. Ensiklik Spe Salvi: Maria, Bintang Harapan
Dalam
ensikliknya, paus Benediktus XVI mengatakan bahwa: “Dengan himne yang
digubah pada abad 8 atau 9, dengan demikian lebih dari seribu tahun lalu,
Gereja telah menyambut Maria, Bunda Tuhan, sebagai “Bintang Samudera”: Ave Maris
Stella. Hidup manusia adalah suatu perjalanan. Menuju tujuan apa? Bagaimana
kita dapat menemukan jalan hidup kita? Hidup berlangsung bagaikan perjalanan di
laut sejarah, yang sering kali gelap dan terkena badai, di mana kita melihat
bintang-bintang yang menunjukkan arah tujuan kita. Bintang-bintang sejati hidup
kita adalah orang-orang yang telah menghayati hidup yang benar. Mereka adalah
cahaya-cahaya harapan. Tentu saja, Yesus Kristus sendiri adalah Cahaya sejati,
Matahari yang terbit mengatasi semua kegelapan sejarah. Tetapi untuk mencapai
Dia kita membutuhkan sinar-sinar terdekat, yaitu pribadi-pribadi yang
menyinarkan cahaya-Nya dan membimbing arah perjalanan kita. Dan manusia manakah
dapat menjadi bintang harapan bagi kita melebihi Maria, yang dengan “fiat”-nya
kepada Allah sendiri telah membuka pintu dunia kita; ia menjadi Tabut Perjanjian
yang hidup, di mana Allah menjadi daging, menjadi salah seorang dari kita,
mendirikan tenda di antara kita (bdk. Yoh 1:14).[1]
Perziarahan
manusia adalah perjalanan menuju kehidupan kekal. Inilah harapan manusia akan
suatu keadaan yang terjadi setelah kematian. Yesus sendiri telah berkata bahwa
Dialah kebangkitan dan hidup yang akan membuka jalan keselamatan bagi mereka
yang percaya kepada-Nya(bdk. Yoh. 11:25-26). Artinya, setiap orang dipanggil
dan diarahkan untuk bersekutu dengan Allah yang oleh kuasa-Nya setiap ciptaan
mendapat kepenuhan paripurna. Hal ini telah terbukti di dalam pribadi Seorang
perawan yaitu Maria. Ia adalah gadis saleh yang dipilih oleh Bapa menjadi ibu
bagi semua bangsa. Totalitas hidupnya dibaktikan hanya kepada Allah. Kebaktiannya
ditunjukkan melalui penyerahan diri yang secara intensif mengandung
pengharapan. Itulah sebabnya ia dijadikan sebagai bintang pengharapan.
Perawan
Maria menjadi bintang yang dari padanya terbitlah cahaya sejati yakni Yesus
Kristus, sang Juru Selamat. Melalui rahimnya yang suci sang Sabda menjelma atau
berinkarnasi menjadi manusia. Bukan hanya sebatas mengandung, ia pula mengasuh
serta mendampingi Puteranya untuk merealisasikan keselamatan yang dinantikan
oleh semua bangsa. Orang berdosa dibopong kembali memasuki cahaya kebenaran,
yang sakit disembuhkan dan roh-roh jahat atau iblis diusir dari dalam diri
mereka yang kerasukan. Belenggu dosa dan maut dilepaskan dari manusia berkat
penderitaan salib-Nya. Keselamatan jiwa-jiwa menjadi misi utama-Nya yang tidak
lain ialah seluruh umat manusia masuk dalam kerajaan Allah.
Rasul
Paulus mengajak jemaatnya untuk meninggalkan pakaian lama(keberdosaan) dan
mengenakan pakaian baru yaitu kebenaran yang sudah dibasuh dalam darah Anak
Domba. Dan yang pertama mengenakan pakaian keselamatan itu ialah Maria, ibu
Yesus. Ketulusan dan kerendahan hatinya diperhatikan oleh Yang Maha Kuasa.
Kesanggupan untuk terlibat dalam misi keselamatan Bapa menjadi bentuk
perziarahan konkret dari pengharapannya. Karena itu apa yang diyakininya
sebagai benar, dipercayai dan diharapkan yaitu kasih Allah yang memampukannya
untuk memandang keselamatan yang terjadi dalam diri Yesus Puteranya di kayu salib;
meskipun itu membuat hatinya terluka dan bersedih.
Peristiwa
salib menjadi saat awal bagi Maria disebut bunda kaum beriman. Hal itu tampak sebagaimana dikisahkan oleh
penginjil Yohanes, bahwa: “Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya
di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu! Kemudian
kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu
murid itu menerima dia di dalam rumahnya(Yoh. 19:26-27).m Meskipun momen
tersebut sungguh menyakitkan, karena pedang kesedihan menembus hatimu. Namun
Apakah harapan sudah mati? Apakah dunia secara definitif tanpa sinar lagi, dan
hidup tanpa tujuan? Pada saat itu di dalam lubuk hatimu engkau pasti mendengar
lagi kata-kata malaikat, yang menjawab pada saat engkau takut mendengarkan
kabar gembira: “Jangan takut, Maria!” (Luk 1:30). Pada waktu di Nazaret
malaikat juga berkata kepadamu: “Kerajaan-Nya tidak akan berakhir” (Luk 1:33).
Apakah berakhir sebelum dimulai? Kebahagiaan kebangkitan menyelimuti hatimu dan
menggabungkan dirimu secara baru dengan murid-murid, yang ditentukan untuk
menjadi keluarga Yesus melalui iman. Oleh karenanya, di tengah para murid
engkau tetap sebagai Ibu mereka, sebagai Ibu harapan.[2]
Hati Maria
yang terluka itu kini dihibur dengan kegembiraan Paskah. Sebab Anak yang
dikandungnya telah mengalahkan musuh yang paling terakhir yakni maut.[3] Kemenangan yang dicapai menjadi tanda nyata
bahwa kerajaan Allah yang dibawa oleh Yesus ke dalam dunia tak dapat
terkalahkan. Artinya hanya di dalam Dia terdapat perdamaian dan memang Ia
adalah Raja dari segala raja; serta penguasa dari segala penguasa yang memimpin
bukan dengan kekerasan melainkan KASIH. Dengan demikian patutlah Maria
dihormati sebagai ratu seluruh umat beriman. Selain itu, ia pula menjadi
bintang samudera yang akan menunjukkan jalan menuju kerajaan Putera-Nya. “Santa
Maria, Bunda Allah, Ibu kami, ajarilah kami percaya, berpengharapan dan
mengasihi bersamamu. Tunjukkan kepada kami jalan menuju Kerajaan-Nya. Bintang
Samudera, sinarilah kami dan bimbinglah kami dalam perjalanan kami.”[4]
3. Ensiklik Laudato Si: Ratu Seluruh Dunia Ciptaan
Pada bagian akhir dalam Ensiklik Laudato Sii Paus Fransiskus mengangkat topik tentang Maria. Ia mengkorelasikan situasi ekologi manusia dewasa ini dengan Bunda Kristus dan Gereja. Katanya: “Maria, Bunda yang telah merawat Yesus, sekarang merawat dunia yang terluka ini dengan kasih sayang dan rasa sakit seorang ibu. Sama seperti hatinya yang tertusuk telah meratapi kematian Yesus, sekarang dia berduka cita atas penderitaan orang-orang miskin yang disalibkan dan makhluk-makhluk dari dunia ini yang dihancurkan oleh kekuasaan manusia.”[11] Ungkapan ini sebetulnya menunjukkan bahwa perilaku eksploitasi alam yang dilakukan oleh setiap orang di masa ini adalah tindakan yang melukai hati ibunda. Bumi dan segala isinya yang terus dirampas dan dihancurkan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab secara tidak langsung telah berkhianat, menangkap, membelenggu dan menyalibkan Putera Allah yang dikandung oleh Maria. Merekalah yang menjadi pelopor modern penyaliban Yesus Raja semesta alam. Itulah sebabnya betapa sedih hatinya ketika melihat begitu banyak orang serakah tanpa mempedulikan tangisan alam dan kesulitan kaum marginal.
Harta duniawi dijadikan sebagai sumber kebahagiaan. Cinta akan Kristus sebagai harta satu-satunya yang menyelamatkan disingkirkan, diganti atau diabaikan. Kerap orang mulai berlomba-lomba mengambil hasil alam sebanyak mungkin, supaya dengannya mereka menjadi kaya dan bisa membeli segala sesuatu yang diinginkan. Tiada gunanya hidup di dunia namun tidak menikmati apa yang ada di dalamnya; apa yang sudah tersedia haruslah dinikmati sepuas-puasnya. Inilah paradigma kaum kapitalis yang mana lebih mengutamakan keuntungan lewat apa yang dilakukan meskipun itu harus mengorbankan manusia lain dan alam sekitar.
Fenomena merusak alam dipicu oleh tiga paham sentral yaitu materialisme, konsumerisme dan hedonisme. Tak jarang orang melakukan sesuatu untuk mendapatkan harta, kedudukan ataupun kenikmatan lainnya. Tanpa disadari mereka telah menjadi hamba dosa karena masih diperbudak oleh keinginan daging yang tidak teratur. Misalnya merampas hak orang miskin(membuang makanan), mengambil hasil alam dengan tidak bertanggung jawab(menebang pohon secara liar, merusak ekosistem laut dengan alat canggih dan sebagainya). Rasul Paulus dalam Suratnya kepada Jemaat di Galatia 15:19-21 menandaskan bahwa: “Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu--seperti yang telah kubuat dahulu--bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” Karena itu orang yang bertindak seturut keinginan daging tidak dipimpin oleh Roh dan menolak hukum kasih yang diajarkan Kristus Sang Imam Agung yang dilahirkan oleh perawan Maria.
Kepentingan diri sendiri menjadi ajang pertaruhan di zaman modern ini. Aktivitas sosial menjadi tidak penting karena masing-masing pihak mencari hal-hal yang memuaskan dirinya sendiri. Menutup diri(mata, hati, telinga) terhadap orang lain merupakan habitus manusia dewasa ini. Akibatnya tangisan kaum miskin dan alam makin hari makin terdengar di mana-mana. Kasih yang harus menjadi dasar hidup Kristiani perlahan-lahan redup akibat perbuatan egosentris. Keadaan serupa menambah penderitaan Yesus di kayu Salib tetapi juga memperdalam luka hati dari Maria. Dalam ensiklik yang sama, Puas Fransiskus menambahkan lagi uraian teologisnya bahwa: Maria adalah “perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya.” (Wahyu 12: 1). Terangkat ke surga, dia adalah Ibu dan Ratu seluruh ciptaan. Dalam tubuh kemuliaannya, bersama dengan Kristus yang bangkit, sebagian dari ciptaan telah mencapai kepenuhan keindahannya. Ia tidak hanya menyimpan dalam hatinya seluruh kehidupan Yesus yang ia asuh dengan setia (bdk Lukas 2: 19, 51), tetapi sekarang pun ia memahami makna segala sesuatu. Oleh karena itu, kita dapat meminta dia untuk membantu kita memandang dunia ini dengan mata yang lebih bijaksana.”[12]
Apa yang dikatakan paus tersebut sebenarnya menjadi undangan bagi dunia untuk melihat dan merenungkan kembali makna keselamatan yang terjadi 2000 tahun yang lalu sambil memperhatikan realitas hidup di era yang super canggih ini. Kedangkalan pemahaman akan rahasia keselamatan membatasi manusia untuk turut merealisasikan rencana Allah. Karena itu mintalah kepada Maria, Ratu seluruh ciptaan untuk mendoakan umat manusia kepada Kristus, Putra-Nya agar rahmat kebijaksanaan tersalurkan kepada setiap pribadi. Supaya dengan begitu masing-masing individu dimampukan untuk membangun komitmen dan terlibat dalam apa yang dikehendaki Bapa yaitu mengasihi-Nya, sesama dan alam cipta.
Penutup
Maria adalah bunda Gereja yang melalui perannya Kristus kepala Gereja hadir di tengah dunia. Kedatangan-Nya menjadi bukti kasih Allah akan dunia. Sebab sejak semula Allah telah merencanakan karya keselamatan bagi umat manusia. Dan ketika waktunya telah genap ia mengutus malaikat untuk memberitahukan rencana tersebut kepada Maria; yang melalui kuasa Roh Kudus akan mengandung serta melahirkan Kristus sumber keselamatan. Dengan fiatnya, ia menyerahkan diri secara total untuk melaksanakan kehendak Allah yang mulia itu.
Perawan Maria menjadi bintang yang dari padanya terbitlah cahaya sejati yakni Yesus Kristus, sang Juru Selamat. Melalui rahimnya yang suci sang Sabda menjelma atau berinkarnasi menjadi manusia. Bukan hanya sebatas mengandung, ia pula mengasuh serta mendampingi Puteranya untuk merealisasikan keselamatan yang dinantikan oleh semua bangsa. Meskipun terluka namun ia yakin sungguh bahwa kuasa Ilahi melampaui segala sesuatu dan karena itu ia tetap berpegang pada fiatnya. Kerendahan hati, ketulusan, cinta serta ketaatannya pada Allah sehingga di salib Yesus menyerahkan Maria kepada murid-Nya dan murid-Nya kepada ibun-Nya. Itulah sebabnya ia terus hadir bersama para murid sambil memohon datangnya sang penolong. Roh Kudus yang dicurahkan kepada mereka menjadi saat awal berdirinya Gereja dan Marialah sebagai Bunda dari Gereja itu sendiri.
Sebagai bunda Gereja ia hadir bersama dalam perziarahan umat manusia. Ia bersukacita apabila semua bangsa hidup di dalam persekutuan bersama dengan Allah. Namun hatinya akan terluka bila ada sebagian kawanan dari Puteranya tersesat atau keluar dari persekutuan itu. Salah satu contoh konkret yang menunjukkan bahwa manusia keluar dari persekutuan tersebut ialah menghancurkan bumi dan menyalibkan orang miskin. Inilah rintihan modern sekaligus dosa ekologis yang perlu dibaharui dan diperhatikan bersama. Karena bumi adalah ciptaan Allah sendiri. Sehingga mereka yang mengeksploitasi alam dengan tidak bertanggung jawab secara tidak langsung telah terlibat dalam usaha untuk menyalibkan Yesus, yaitu dengan berkata: salibkan dia! Salibkan dia! Salibkan dia! Tanpa disadari teriakan ini menambah rasa sakit ibunda atas penderitaan Puteranya.
Olehnya itu, marilah membangun kesadaran dengan mulai memperhatikan dan membaharui relasi dengan alam, sesama terlebih khusus Dia yang adalah sang pencipta. Karena itu marilah kita berseru kepada Maria supaya memohonkan rahmat Ilahi dari Putera-Nya agar kita dimampukan untuk tetap bertahan dalam perbuatan baik atau menjadi gandum di tengah ilalang.
Fr. Rio Batlayeri
[1] Paus
Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemtoris Mater(Seri Dokumen Gerejawi No.1)
(Jakarta: Dokpen KWI, 1987), 5.
[2] Paus Yohanes
Paulus II, 41.
[3] Paus Yohanes
Paulus II, 43.
[4] Paus Yohanes
Paulus II, 59.
[5] Paus Yohanes
Paulus II, 60.
[6] Paus Yohanes
Paulus II, 35.
[7] Paus Benediktus XVI, Spe Salvi(Diterjemahkan
Oleh Mgr. F.X. Hadisumarta, O.Carm Dan Mgr. A.B. Sinaga, OFMCap) (Jakarta:
Dokpen KWI, 2014), 59.
[8] Paus
Benediktus XVI, 60–61.
[9] Bdk. Kitab Suci Deuterokanonika.,
n.d., 1Kor. 15:24-26. Atau hal tersebut berkaitan pula dengan ajaran
Kristologis yaitu berkuasa atas alam, dunia iblis dan penyakit serta kematian,
lih. Robert H.
Stein, Mark (Baker Exegetical Commentary on the New Testament) (Baker
Academic, 2008), no page.
[10] Loc.Cit
Paus Benediktus XVI, Spe Salvi(Diterjemahkan Oleh Mgr. F.X. Hadisumarta,
O.Carm Dan Mgr. A.B. Sinaga, OFMCap), 61.
[11] Paus Fransiskus, Ensiklik
Laudato Sii(Seri Dokumen Gerejawi No. 98,). Diterjemahkan Oleh Martin Harun,
OFM. (Jakarta: Dokpen KWI, 2016), 146.
[12] Loc.Cit Paus Fransiskus, 146.
No comments:
Post a Comment