Dunia Tanpa Keduniawian: Harapan Bangun dari Mabuk Abadi


 

Mungkinkah dunia ini menjadi dunia tanpa duniawinya? Pertanyaan ini menjadi batu loncatan nalar untuk merobek kebisingan dunia yang membuat dunia tidak semestinya dunia. Andaikata dunia berlabuh dalam dirinya tanpa terkontaminasi keduniawian maka tragedi gigi ganti gigi, keserakahan, kekosongan tak memiliki sayap untuk terbang.

Akan tetapi, hal itu hanyalah angan-angan kosong yang tidak memiliki kepadatan. Sebab dari dalam lubuk hatinya, manusia mengalami kelongsoran makna. Hatinya menjadi diskotik bising yang mabuk dalam keabadian tak tentu. Wajah cantiknya tak kentara lagi. Ia seperti anjing yang kehilangan remah roti dari tuannya (bdk. Mat 15:27). Kini ia lapar makna tapi dia tak tahu dari mana memperolehnya. Bahkan makna itu baginya seperti mainan asing yang tidak dikenal.

Jika demikian adanya, apakah manusia dapat menaklukkan dunia dari keduniawiannya? Lingkaran keduniawiannya semakin melebar, tapi maknanya semakin dangkal. Tak ada yang bisa diandalkan lagi. Bahkan daya pikir yang seharusnya menuntun ke cakrawala makna justru ikut tercemar oleh kebisingan duniawi. Manusia berpikir tetapi pikirannya hampa. Ia berbicara tetapi kata-katanya menggema di ruang kosong tanpa substansi.

Namun, syukurlah bahwa melalui tanda-tanda zaman yang sedemikian, Paus Fransiskus mengusung tema pengharapan dalam tahun Yubileum 2025. Tema ini menunjukkan bahwa meski manusia makin hari makin tak tertolong oleh keadaan daruratnya karena kedangkalan makna, namun ia tidak boleh berhenti menjadi peziarah harapan (Pilgrims of Hope). Meski dalam kedangkalan makna, pengharapan itu akan menuntun menuju kepenuhannya; sebab memang pengharapan itu tidak mengecewakan: Spes Non Confundit (Rm 5:5). Kepenuhan itu akan segera membangunkan manusia dari mabuk abadinya.

Saat harapan itu terbit, maka kita perlu menyongsongnya seperti gadis-gadis bijaksana (lih. Mat 25:4). Tujuannya supaya dunia yang kita huni pulang dari keduniawiannya dan segera kembali kepada keteraturan bermakna sebagaimana yang dijadikan oleh "Sang AKU" (bdk. Kel 3:14). Dunia yang berpori oleh kekosongan perlu disatukan kembali dalam tatanan ilahi. Tanpa tatanan itu, ia hanya akan menjadi lingkaran absurditas yang tak berujung. Melalui kesatuan itu lahirlah tanda-tanda harapan dengan mana dunia bergerak melampaui keduniawiannya. Tanda-tanda itu meliputi: perdamaian, kesediaan untuk berbagi, pembebasan bagi tahanan, merawat orang sakit, peduli terhadap kaum muda, melindungi para migran, lansia dan orang miskin (lih. Bulla Spes Non Confundit, 2024, no. 8-15).

 

Tulisan ini kupersembahkan bagi sahabatku (inisial MR) yang menjadi “lawan dalam perdebatan ide-ide.”

Penulis: Fr. Rio Batlayeri

No comments:

Post a Comment