KDRT Berujung Pada Perceraian: Tantangan Pastoral Masa Kini(Solusi Praktis Menurut Familiaris Consortio).



Keluarga Billar-Kejora akhir-akhir ini mendapat tanggapan negatif dari publik. Fakta riil menunjukkan bahwa Rizky Billar melakukan kekerasan kepada istrinya Lesti Kejora. Kasus ini diberi label Kekerasan dalam Rumah Tangga.[1] Fenomena tragis dari keluarga kecil ini mewakili deretan kasus KDRT yang terjadi di Indonesia(secara parsial) dan negara-negara lainnya(secara mondial). Sungguh memprihatinkan bahwasanya kesucian perkawinan dihancurkan begitu saja oleh manusia dewasa ini.

Kasus kekerasan yang dilakukan Billar merupakan pelanggaran moralitas. Mengapa demikian? Karena tindakannya mencerminkan penyelewengan terhadap hak asasi manusia (bebas dari diskriminasi) yang dimiliki oleh istrinya. Problem ini secara tidak langsung menunjukkan adanya pengabaian terhadap karakteristik esensial yaitu martabat.[2] Pada prinsipnya setiap manusia merupakan makhluk yang bebas dan otonom. Kebebasan ini dilindungi oleh negara, karena itu perbuatan yang dilakukan oleh Billar tersebut tak dapat dibenarkan secara hukum.[3]

Cambukan, tamparan, siksaan mewarnai bahtera rumah tangga manusia zaman milenial ini. Cinta kasih yang dibingkai dalam janji perkawinan tak bertahan lama karena kepercayaan antar kedua belah pihak(suami-istri) kian memudar. Realitas tersebut menunjukkan bahwasanya fondasi perkawinan yang dibangun selama ini terlihat keropos alias tak kokoh. Banyak keluarga muda terkurung dalam kecemasan akibat deretan masalah (internal maupun eksternal) melanda perjalanan hidup mereka. Ketakberdayaan menghadapi krisis keharmonisan dalam keluaraga inilah yang berujung pada perceraian.

Kecantikan atau ketampanan, kekayaan dan kedudukan merupakan tolok ukur cinta dan kemesraan suami-istri. Ukuran demikian bukanlah sebuah kekeliruan namun ketidakpastian yang menuntut seseorang untuk setia terhadap yang lain. Sebab aspek fisik dan ekonomi-finansial tidak statis(terus berubah atau berkurang) karena itu perlu dikondisikan dalam semangat kasih dan kesetiaan. Namun sayangnya, spirit ini dipadamkan dengan kekecewaan, keputusasaan, perselingkuhan, percekcokan bahkan pembunuhan dan perceraian. Problematik serupa merupakan tantangan pastoral zaman modern ini. Lantas bagaimana Gereja menanggapi fenomena ini khususnya perceraian?

Satu dan tak terceraikan(monogam dan indissolubile[4] ) merupakan aspek esensial dari perkawinan Gereja  Katolik. Komitmen dan janji yang diucapkan suami-istri dalam upacara perkawinan adalah sah sekaligus sakral. Tindakan ini bukan semata-mata menunjukkan dimensi manusiawi dan sosial belaka tetapi serempak pula bersifat transendental(bercorak ilahi). “Karena itu, apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”[5] Dengan demikian perkawinan adalah wujud kasih Allah bagi manusia, di mana Ia sendiri menghendaki agar umat-Nya hidup dalam persekutuan bukan sebaliknya.

            Karena perkawinan Katolik tidak mengenal adanya perceraian maka sebelum tindakan  ini diimplementasikan, perlu diadakan bimbingan bagi para calon pasangan suami-istri. Bimbingan tersebut bertujuan agar mereka yang akan menikah dapat memperoleh kematangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga nantinya. Selain itu dapat pula menjadi titik berangkat meminimalisir potensi kekerasan dalam rumah tangga. Sebab dewasa ini sering kali terjadi fenomena tragis dalam keluarga sebagaimana yang dilakukan oleh Billar kepada istrinya.  Senada dengan itu Lon dalam penelitiannya menandaskan bahwa “Kursus Persiapan Perkawinan Katolik (KPPK) adalah salah satu solusi karya pastoral Gereja Katolik yang didedikasikan untuk membantu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran calon pasangan suami-istri Katolik mengenai hakikat, tujuan, dan dasar perkawinan Katolik.”[6] Itulah sebabnya muncul pertanyaan, muatan materi apa saja yang perlu disosialisasikan dalam bimbingan pra nikah?

            Kasus KDRT memberikan keprihatinan mendalam bahwasanya ada begitu banyak keluarga yang mengalami krisis persekutuan. Konsekuensi konkret dari perilaku demikian ialah perceraian serta kekerasan terhadap anak dan perempuan[7]. Kasus-kasus ini menjadi bukti bahwasanya kesadaran akan tugas dan tanggung jawab orang tua(pasang suami-istri) masih berada di bawah rata-rata. Karena itu, terobosan aktual dan relevan yang dianjurkan serta dipertahankan oleh Gereja hingga saat ini ialah konseling perkawan, yang terdiiri dari:

 1.  Hakikat perkawinan Gereja Katolik

Tradisi Gereja Katolik yang dipertahankan hingga saat ini ialah menolak adanya perceraian. Ini bukanlah ajaran atau aturan manusiawi melainkan ilahi(dari Allah sendiri). Sebab sesungguhnya secara kodrati manusia bukanlah makhluk yang tercerai-berai melainkan berada dalam satu persekutuan. Pada prinsipnya setiap orang dipanggil untuk bersekutu secara lahiriah(perkawinan suami-istri) dan transendental (keselamatan abadi bersama dengan Allah).

 1.1.  Manusia adalah ciptaan istimewa

Semula Allah dengan kemurahan dan kasih-Nya menciptakan alam semesta beserta isinya. Dari semua yang telah diciptakan, hanya satu ciptaan yang mendapatkan martabat luhur yang serupa dengan-Nya yaitu manusia(pria dan wanita). Karena itu Ia memberikan tugas dan tanggung jawab kepada mereka untuk merawat dan melestarikan apa yang sudah diciptakan-Nya. Sejak saat itulah mereka bukan lagi dua melainkan satu.[8] 

Model persatuan antara Adam dan Hawa pada zaman dahulu memberikan gambaran riil bahwa Allah tidak menghendaki perceraian. Martabat yang sama antara pria dan wanita inilah yang menjadi sumber intrinsik penyatu yang tak terbantahkan. Semua orang adalah makhluk istimewa di hadapan Allah. Sehingga kedua bela pihak yang telah disatukan dalam sakramen perkawinan, tidak dapat dipisahkan oleh siapa atau lembaga mana pun. Sebab perceraian bukanlah kehendak Allah melainkan ketegaran hati manusia[9]. Konsekuensinya ialah melawan kehendak Allah dan menyangsikan (merendahkan) martabatnya sendiri sebagai manusia.  

1.2. Manusia menjadi wujud pancaran kasih Allah bagi dunia

Sudah disinggung pada penjabaran sebelumnya bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan kasih dan kemurahan-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa kemahakuasaan Allah dinyatakan kepada manusia lewat kasih:

Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah.  Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi. Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita...[10]

Realitas kasih ini harus menjadi ciri khas orang beriman(pasangan suami-istri).  Persekutuan, komitmen dan janji suci perkawinan akan terus dipertahankan hingga akhir hayat apabila kedua pribadi hidup di dalam kasih. Wujud konkret, suami dan istri saling melayani seturut status sosial mereka ; tidak ada perselingkuhan, penganiayaan dan perceraian; anak-anak disekolahkan dan tidak diterlantarkan; tidak saling mendustai dan saling mempercayai; menolak diskriminasi serta meningkatkan keharmonisan dan lain sebagainya. Namun perlu juga diketahui bahwa kasih tidak selamnya bercorak kenyamanan melainkan kesetiaan dan pengorbanan. Situasi ini lebih dulu dialami oleh Kristus sendiri yakni setia menjalankan kehendak Bapa-Nya dan menyerahkan diri-Nya sebagai silih atas dosa manusia. Karena itu suami maupun istri perlu juga setia satu terhadap yang lain, sekalipun berada dalam situasi krisis; dan berkorban mempertahankan ikatan perkawinan(mendedikasikan waktu maupun tenaga seutuhnya untuk pengembangan mutu keluarga). Jika dua hal ini direalisasikan maka kebahagiaan keluarga akan terus terjangkau sekalipun diterpa dengan pelbagai tantangan. 

2.      Tujuan Perkawinan

Secara umum perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan. Semua orang pastinya memiliki tujuan seperti ini. Namun ada hal yang lebih mendasar yakni menjalankan rencana keselamatan Allah. Karena pada prinsipnya manusia dipanggil untuk berpartisipasi dalam karya keselamatan Allah. “Keluarga kristiani dipanggil untuk ambil bagian secara aktif dan bertanggung jawab dalam misi Gereja dengan cara yang asli dan khas dengan menjadi sebuah “kesatuan mesra hidup dan cinta” demi pelayanan Gereja dan masyarakat.[11] Itulah sebabnya, ada empat tujuan sentral dari perkawanan[12] yang dirumuskan sebagai berikut:

Pertama, demi kebahagiaan pasangan (Bonum coniugalis): suami dan istri dipanggil untuk saling membahagiakan. Hal ini menuntun kedua belah pihak untuk bersekutu di dalam satu ikatan perkawinan. Tentunya yang dimaksudkan ialah seorang pria dan wanita meninggalkan ayah dan ibunya serta memberi diri untuk menjadi satu daging. Persatuan antara dua pribadi mewujud secara konkret dalam kebahagiaan badani; di mana masing-masing saling memberi diri melalui tindakan yang khas dan eksklusif(hubungan biologi atau aktivitas seksualitas)[13].

Kedua, untuk mendapatkan keturunan (Bonum prolis): puncak kebahagiaan badani ditandai dengan kelahiran seorang anak. Pada tahap ini seorang pria mengemban tugas sebagai ayah dan wanita sebagai ibu. Mereka berdua yang telah bersatu secara jasmani dan rohani ini dikaruniai tanggung jawab moral yakni mengasuh dan mendidik anak-anaknya menjadi pribadi yang matang dalam aspek fisik, intelek dan spiritual.

Ketiga, untuk mencapai kesejahteraan bersama atau membangun masyarakat (Bonum societatis): keluarga menjadi sel vital dalam aktivitas bermasyarakat. Artinya bahwa pasangan suami-istri turut berperan dalam peningkatan kualitas hidup komunal. Misalnya, mengurangi angka kelahiran anak guna meminimalisir kesenjangan ekonomi; memberikan tumpangan kepada kaum fakir miskin; atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial-karitatif lainnya.

Keempat, untuk mencapai kebahagiaan iman (Bonum fidei):pasangan suami-istri perlu juga menyeimbangkan dan menyelaraskan kehidupan jasmaninya dengan kehidupan rohaninya. Sebab mereka dipersatukan, dipanggil dan dikuduskan oleh Allah dalam dan melalui sakramen perkawanan. Realitas pengudusan inilah yang menjadi sumber kebahagiaan bahwasanya keluarga Kristen menjalankan peranan kenabiannya dengan menyambut setulus hati serta menyiarkan sabda Allah. Keluarga dari hari ke hari makin berkembang sebagai persekutuan yang beriman dan mewartakan Injil.[14] 

3.      Saling mengenal dan menerima

Mengenal lebih dekat adalah sebuah keharusan bagi setiap pasangan. Cara ini digunakan untuk melihat kelebihan dan kekurangan pasangannya. Meskipun keduanya memiliki martabat yang sama namun secara esensial memiliki perbedaan.  Misalnya kulit hitam dan putih; rambut keriting dan lurus; miskin dan kaya; dan sebagainya. Supaya perbedaan tersebut dapat disatukan maka membutuhkan instrumen kontrol yaitu pengenalan dan penerimaan. Sikap ini menjadi jalan untuk memupuk cinta sejati[15] di mana kedua belah pihak saling membuka diri, menerima dan mencintai. Persekutuan baru tercapai ketika adanya sikap saling menerima. Selanjutnya, sikap ini pula dapat diterapkan apabila si subjek menyadari dan menerima dirinya sebagai pribadi yang istimewa di hadapan Allah. Dengan demikian ia dapat memperlakukan pasangannya melalu cara yang sama pula. Apabila ia menolak eksistensinya sebagai manusia maka pastinya ia tak mampu menerima totalitas hidup(kelebihan maupun kekurangan) yang ada pada pasangannya.

4.      Proses penyelesaian masalah

Perkawinan perlu dipahami secara luas oleh pasang suami istri bahwasanya hubungan mereka tidak selalu terhindar dari konflik. Artinya bahwa keluarga yang dibangun atas dasar cinta tersebut tidak serta-merta diapit dengan kebahagiaan melulu melainkan pula selalu berhadapan dengan banyak masalah. Misalnya, masalah ekonomi-finansial(pendapatan berkurang dan kerugian makin meningkat); relasi eksklusif dengan pria atau wanita lain; kebutuhan anak semakin meningkat; kedua belah pihak selalu fokus terhadap pekerjaan sehingga tidak ada waktu untuk bermesraan dan lain-lain. Kenyataan ini menunjukkan bahwa adanya kebersamaan hidup dua pribadi suami-istri. Hal inilah yang memungkinkan adanya salah paham, perbedaan pendapat, cemburu, minta perhatian, berbeda keinginan dan selera yang ujung-ujungnya menghasilkan pertengkaran.[16]

Berhadapan dengan pelbagai masalah yang telah disebutkan, hal-hal praktis yang perlu dikembangkan ialah: kesabaran; kemurahan; sikap saling percaya; tidak memegahkan diri atau sombong; rela berkorban dan tidak mencari keuntungan diri sendiri; menerima dan memaafkan kesalahan pasangannya; selalu bersikap adil dan mengusahakan kebenaran. Selain itu Gereja juga merasa bertanggung jawab atasnya. Sebagai guru dan bunda bagi suami-istri yang bermasalah, Gereja senantiasa hadir di tengah-tengah mereka sambil menawarkan nilai-nilai moral dan rohani yang bersumber dari ajaran Kristus kepada mereka.[17] Pada prinsipnya ialah Gereja menanamkan cinta dan semangat ilahi kepada mereka supaya hal-hal praktis yang sudah diimplementasikan itu terus dikembangkan.

5.      Pengaturan ekonomi

Kebutuhan ekonomi-finansial adalah faktor utama dalam menunjang kebahagiaan pasangan suami-istri. Hal ini tidak dapat disangkal bahwasanya menjadi pemicu konflik dalam kehidupan rumah tangga. Karena itu pola pengaturan keuangan perlu dikembangkan. Sehingga dari penghasilan yang tertentu dan terbatas semua kebutuhan keluarga dapat tercukupi. Dapat makan setiap hari, dapat berpakaian pantas, punya rumah kediaman yang layak, mendapatkan pendidikan secukupnya, dan bila ada anggota keluarga yang sakit mendapatkan pengobatan dan perawatan sepenuhnya.[18] Cara yang tepat untuk mengatasi krisis ekonomi dalam keluarga ialah: mengurangi pengeluaran; membuat buku keuangan keluarga; istri tidak boleh shopping berlebihan; harus mengetahui mana kebutuhan mendesak dan yang tidak mendesa(dapat ditunda); meningkatkan pendapatan melalui usaha atau investasi; dan yang paling utama ialah giat menabung. Kesulitan keluarga muda saat ini ialah tidak pernah menabung, sehingga ketika kebutuhan-kebutuhan mendesak(biaya pangan atau pendidikan anak) tidak dapat terpenuhi. Akibatnya kelaparan melanda hidup mereka; anak-anak mereka tidak disekolahkan bahkan berujung pada perceraian.

6.      Pendidikan Anak

Hak maupun kewajiban orang tua untuk mendidik bersifat hakiki, karena berkaitan dengan penyaluran hidup manusiawi. Selain itu bersifat asali dan utama terhadap peranserta orang-orang lain dalam pendidikan, karena keistimewaan hubungan cinta kasih antara orang tua dan anak-anak.[19] Karena itu orang tua harus dengan penuh tanggung jawab mensosialisasikan nilai-nilai luhur dan juga ajaran-ajaran iman kepada anaknya. Tujuannya agar anak itu berkembang menjadi pribadi yang baik, taat dan setia. Selain itu ia mampu memiliki wawasan luas mengenai realitas yang akan di hadapinya dalam setiap fase pertumbuhannya nanti. Jika kedua orang tua bersifat pasif terhadap tugas mulia ini, maka seorang anak pastinya tidak matang secara afeksi, emosional maupun kognitif. Selanjutnya dalam rangka pendidikan ini pula, Gereja mengharapkan agar anak-anak tersebut tidak boleh diterlantarkan melainkan disekolahkan(diberikan peluang untuk mengenyam pendidikan yang layak).

Pada dasarnya perkawinan Katolik tidak mengenal adanya perceraian. Karena itu   bimbingan bagi para calon pasangan suami-istri perlu dan amat relevan dengan situasi saat ini. Bimbingan tersebut bertujuan agar mereka yang akan menikah dapat memperoleh kematangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga nantinya. Selain itu memberikan pemahaman terkait hakikat perkawanan(panggilan untuk mewujudkan kasih Allah bagi dunia); tujuan perkawanan: Demi kebahagiaan pasangan (bonum coniugalis); Bonum prolis(untuk mendapatkan keturunan), Bonum societatis(kesejahteraan atau membangun masyarakat), Bonum fidei(kebahagiaan iman). Dari kedua unsur ini diharapkan mereka mampu menerima dan mengasihi; mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah; tahu mengatur roda ekonomi keluarga dan mendidik serta menyekolahkan anak. 

Semoga cara-cara sederhan yang telah diuraikan dapat memberikan solusi praktis bagi keluarga-keluarga yang bermasalah, khususnya yang saat ini terkurung dalam ketakutan dan kegelisahan akibat KDRT. 

Fr. Herman Yoseph Batlayeri

                                            

    ***STOP KDRT!*** 

 

 

                                                                                                                          

                                                                                                       


[1] “Fakta Terbaru Kasus KDRT Lesti, Rizky Billar Sering Lakukan Kekerasan Hingga Bukti Yang Dikantongi Polisi Halaman All - Kompas.Com.”

[2] Bdk. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga “24.Pdf.”

[3] Bdk. “Precetive or prescriptive right” atau hukum objektif, yakni keseluruhan sistem hukum atau perundang-undangan yang berfungsi melindungi masyarakat dan mengatur perilaku individu yang satu terhadap yang lain. Prof. DR. Johanis Ohoitimur, Traktat Etika Dasar: Bahan Ajar Filsafat Moral Semester II, hlm. 85.

[4] Monogam berarti satu laki-laki dengan satu perempuan, sedangkan indissolubile berarti, setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang dibaptis secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan menjadi tak terceraikan, kecuali oleh kematian. Dapat dilansir melalu akun blog Keuskupan Agung Jakarta “Hukum Gereja Mengenai Pernikahan Katolik.”

[5] Kitab Suci Deuterokanonika.

[6] Lon, “Program KPPK Di Keuskupan Ruteng Sebagai Upaya Meningkatkan Kesadaran Pasutri Akan Hakikat Perkawinan Katolik,” 11.

[7] Perutusan, “Seri Dokumen Gerejawi No. 96.”hlm.15.

[8] Bdk. Kitab Suci Deuterokanonika, Injil Matius 9:6.

[9] Bdk. Kitab Suci Deuterokanonika Injil Matius 19:8-9.

[10] Kitab Suci Deuterokanonika 1Yohanes 4:7-12.

[11] Apostolik and Ii, “FAMILIARIS CONSORTIO,” 80.

[12] Empat tujuan ini merupakan muatan materi kuliah yang dipaparkan oleh RD. Paul Richard Renwarin dalam pertemuan ke-7 pada tanggal 04 Oktober 2022 dengan topik pembahasaan: “Keluarga.”

[13] Apostolik and Ii, “FAMILIARIS CONSORTIO,” 22.

[14] Apostolik and Ii, hlm. 81.

[15] Saling menerima apa adanya adalah syarat mutlak bagi cinta sejati. Karena hanya orang seperti itulah yang mampu bersyukur atas apa yang ada sehingga dapat merasakan bahagianya mencintai dan dicintai. Sujoko, File TEOLOGI KELUARGA Memahami Rencana Allah Bagi Keluarga (Menurut Familiaris Consortio). Hlm. 57

[16] Sujoko. Hlm. 126

[17] Bdk Apostolik and Ii, “FAMILIARIS CONSORTIO,” 55.

[18] “Materi Kursus Persiapan Perkawinan - Kursus Persiapan Perkawinan Sebagai Usaha Untuk Membangun.”

[19] Apostolik and Ii, “FAMILIARIS CONSORTIO.” Hlm.62

No comments:

Post a Comment