Ada
mahasiswa calon imam yang sebetulnya tidak bersemangat masuk kapel. Tapi karena diwajibkan oleh pemimpin dan dipaksa oleh
peraturan, maka dia berpikir bahwa yang terpenting
dia hadir secara fisik di kapel sesuai jam sembahyang agar dinilai positif oleh pembinanya. Apakah perbuatan seperti itu
dapat digolongkan sebagai perbuatan moral yang baik sesuai etika
deontologi Kant?
Secara harfiah kata deontologi berasal
dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua akar
kata yakni deon: apa yang
harus dilakukan atau kewajiban; dan logos:
perkataan atau ilmu.[1]Dengan
demikian, deontologi merupakan salah satu cabang atau konsep dari ilmu etika yang berorientasi pada aspek kewajiban dalam
perbuatan manusia. Di sini dapat dilihat secara transparan bahwa konsep ini menawarkan pemikiran mengenai baik-buruknya sebuah tindakan.
Ukuran yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam menganalisis baik-buruknya suatu perbuatan seseorang ialah kewajiban
itu sendiri. Maksudnya bahwa nilai moral suatu
perbuatan terletak pada bentuk tindakan
yang dilakukan setiap person
atas dirinya sendiri yang secara
formal memenuhi kewajibannya sebagai subjek yang melakukan.[2]
Pemahaman deontologi yang diutarakan di atas lebih didalami oleh seorang filsuf dari Jerman yakni Immanuel Kant. Menurutnya, hal yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Mengapa demikian? Karena kehendak menjadi acuan dasar bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Misalnya, Rendy adalah mahasiswa STF-SP yang sedang menyapu halaman kampus. Tindakan itu dapat dikatakan baik apabila didasarkan pada kehendak yang baik pula. Kendati demikian akan muncul suatu pertanyaan lain, bagaimana kehendak itu dapat dikatakan baik? Menurut Kant kehendak itu baik apabila seseorang bertindak seturut kewajibannya.[3] Jadi, ia yang bertindak sebagai mahasiswa tersebut dapat dikatakan baik apabila sepadan dengan kewajibannya. Namun akan menjadi sebaliknya apabila perbuatannya mengandung motif lain yaitu mencari pujian atau supaya dianggap rajin oleh para dosen atau teman-temannya. Bagi Kant, hal serupa merupakan tindakan yang sama sekali tidak memiliki bobot yang baik.
Meskipun pandangan dari Kant sungguh tajam dan mendalam bahwasanya ia menandaskan tentang kewajiban tapi toh ia menambahkan satu elemen untuk memenuhi konsepnya itu. Ia berpendapat bahwa, memang perbuatan yang baik itu didasarkan pada kehendak yang baik yaitu sesuai kewajiban namun belum dapat dikatakan sebagai perbuatan moral. Sebab baginya, tindakan yang didasarkan pada kewajiban itu hanyalah langkah awal untuk memasuki taraf moralitas. Sebaliknya, perbuatan seseorang dapat bersifat moral, apabila dilakukan semata-mata demi “karena hormat akan hukum moral”[4] Dengan begitu dapat dikatakan bahwa perbuatan seseorang haruslah didasarkan pada hukum moral. Karena hanya melalui cara ini setiap individu yang bertindak, disadarkan akan kewajibannya yang sesungguhnya yakni tunduk pada hukum moral.
Berdasarkan pada kasus dari seorang calon imam yang sebenarnya tidak berkeinginan
masuk ke kapel, tetapi karena diwajibkan oleh pembina dan dipaksa oleh aturan sehingga
ia terpaksa melakukannya. Hal ini dibuatnya
supaya para staf atau pembina
menilainya secara baik. Menurut deontologi Kant hal demikian merupakan
tindakan yang tidak benar. Mengapa demikian?
Karena pada bagian awal dari argumennya, ia sudah berpendapat bahwa hal yang dapat disebut
baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak
baik. Maka tampak jelas bahwa tindakan seorang calon imam tadi tidak
mengandung bobot yang baik.
Selanjutnya akan muncul suatu pertanyaan, bagaimana
kita dapat mengatakan perbuatan si calon imam itu tidak baik, padahal sudah selaras
dengan kewajibannya? Seturut dengan
pertanyaan ini maka hal pertama yang perlu dikritisi adalah motif dari perbuatan tersebut.
Sudah barang tentu dapat dikatakan
bahwa ia yang bertindak itu telah berlaku sebagaimana yang diharapkan oleh staf pembina atau visi dari
lembaga pembinaan itu sendiri. Tetapi
tujuan yang hendak dicapai melalui tindakan itu terfokus pada hal eksternal
yakni bertindak rajin ke kapel guna
mendapat pujian atau penilaian baik dari pembina. Bagi Kant perbuatan semacam itu tidak dapat
dikategorikan sebagai perbuatan moral(dengan kata lain perbuatan yang netral
saja).[5]
Lantas bagaimana cara supaya perbuatan
dari si calon imam itu dapat bersesuaian dengan moral? Formulasi yang cocok untuk pertanyaan demikian
ialah “bertindak-bukan-karena-kewajiban” melainkan “karena-hormat-akan-hukum-moral”. Sekiranya menjadi jelas bahwa aspek
yang perlu ditanamkan dalam diri si calon imam yang notabenenya rajin ke kapel karena terpaksa dan demi mendapatkan penilaian
yang baik dari para staf yaitu taat pada hukum moral. Menurut
Kant, ketika seseorang taat
pada hukum moral secara tidak
langsung ia telah menjalankan kewajibannya. Sebab dengan hal demikian, setiap person ditarik
untuk bertindak yang benar
dalam hal ini memiliki kehendak yang sepadan dengan
apa yang secara
moral dan hukum
dianggap baik.
Olehnya itu dapat disimpulkan bahwa
bertindak sesuai kewajiban saja itu tidak cukup haruslah pula diimbangi dengan kesadaran akan moral dan
hukum. Maksudnya bahwa seseorang
bertindak bukan semata-mata demi memenuhi kewajiban atau untuk mendapatkan pujian tetapi haruslah
ia(calon imam) dalam tindakannya menyatukan kehendak dengan norma-norma yang berlaku. Sehingga bukan
karena hal eksternal yang mempengaruhinya untuk
bertindak melainkan karena dirinya sendiri yang menjadi penyebab bagi
perbuatannya. Maka terbentuklah
paradigma baru yang sifatnya intrinsik yakni, tanpa dinilai atau dipuji pun saya atau engkau(calon imam) tanpa
ragu-ragu bertindak yang benar demi pengembangan kualitas yang berguna
secara personal.

No comments:
Post a Comment