“Nabi: Saksi Kebenaran”
(Refleksi Teologis Atas Tugas Kenabian)
Yoh. 14:44-50
Melihat, meyakni dan memberitakan tentang kebenaran merupakan kata kunci untuk memahami siapa itu nabi. Secara eksplisit dalam injil Yohanes 14:49 Yesus berseru bahwa: “Sebab Aku berkata bukan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang mengutus Aku, Dialah yang memerintahkan Aku untuk mengatakan apa yang harus Aku katakan dan Aku sampaikan.” Penegasan ini mengungkapkan bahwasanya tugas seorang nabi bukanlah mewartakan kepentingan dirinya, melainkan apa yang benar tentang Allah. Lalu bagaimana menemukan kebenaran itu? Caranya ialah membaca dan merenungkan Sabda Allah. Tidak mungkin seseorang dapat mewartakan kebenaran tetapi dia sendiri tidak tahu dari mana asal kebenaran itu.
Keheningan menjadi saat yang tepat bagi para pengikut Kristus khususnya calon imam yang mengemban tugas kenabian. Mengapa demikian? Karana merenungkan sabda Allah bukan di tengah kebisingan melainkan dalam keheningan. Hanya dengan keheningan setiap pribadi dapat mengalami kehadiran Allah yang adalah sumber dari kebenaran itu. Namun hal serupa seringkali dibaikan oleh para formandi. Pengabaian ini dipengaruhi oleh kecondong terhadap aktivitas pribadi dan studi. Akibatnya seringkali terbuai dengan kepalsuan duniawi dan tidak memiliki landasan untuk melihat dan mengalami kebenaran tersebut. Hal-hal tersebut mengekang seseorang sehingga tak mampu melibatkan diri dalam tugas kenabian. Lalu bagaimana mengatasi problem demikian? Adakah cara mengaktualsisasikan diri sepadan dengan tugas kenabian.
Ada dua langkah konkret untuk menjawab pertanyaan di atas, yaitu: Pertama, being well disciplined(hidup disiplin). Sikap yang pertama ini menjadi aktualisasi dari nilai ketaatan. Melaluli disiplin orang akan tahu membuat planning harian, misalnya waktu berdo, membaca dan merenungkan Sabda Allah; kedua, getting along with people(mudah bergaul dan berkomunikasi dengan sesama). Setelah mendisiplinkan diri dan merenungkan sabda Allah, maka tahap selanjutnya ialah mewujudkannya dalam tindakan. Sikap yang kedua ini mau menekankan bahwa orang lain adalah partner kerja dalam mewartakan kebenaran tentang Allah. Karena itu, para calon imam perlu membuka dirinya dan menjalin relasi interpersonal, supaya dengan begitu apa yang telah direnungkan dapat dikomunikasikan kepada sesama. Jadi intinya ialah seorang nabi tidak hanya sampai pada tahap merenungkan saja melainkan mengimplementasikannya dalam aktivitas riil. Dengan demikian, disiplin dan relasi interpersonal menjadi penentu utama dalam menjadikan diri sepadan dengan tugas kenabian yang diembankan.
“Keheningan adalah momentum untuk mengalami kehadiran Allah yang adalah Sabda Kebenaran.”

No comments:
Post a Comment