“Mengabdi?”


 
 

Saat kita memandang kehidupan Kristus, kita melihat sebuah contoh sempurna dari kesederhanaan dan kerendahan hati. Dalam perjalanan-Nya di dunia ini, Ia tidak mencari kekayaan atau kekuasaan, melainkan mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah dan kasih kepada sesama. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh-Nya: ”Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya (Yohanes 4:34). Dalam cinta-Nya yang tulus, Kristus mengorbankan diri-Nya untuk menebus dosa-dosa kita, menunjukkan betapa pentingnya kesederhanaan dan kerendahan hati dalam pengabdian. Sebagai umat beriman, kita dipanggil untuk mengikuti jejak Kristus, membawa cinta-Nya yang lahir dari hati dalam kehidupan sehari-hari.

Kesederhanaan adalah karakteristik yang penting dalam pengabdian kepada saudara-saudari kita yang berkekurangan. Dalam dunia yang serba materialistik dan ambisi yang tinggi, kita sering tergoda untuk mengejar kekayaan dan kekuasaan sebagai ukuran kesuksesan. Namun, pandangan Kristiani mengajarkan bahwa kesederhanaan adalah nilai yang penting dalam membentuk hubungan yang sehat dengan sesama dan Allah. Dalam kesederhanaan, kita belajar untuk menghargai hal-hal yang sederhana dalam hidup ini dan melihat kebutuhan orang lain di sekitar kita. Dengan mengurangi keinginan materi dan egoisme pribadi, kita dapat membuka diri untuk melayani dengan tulus dan membantu saudara-saudari kita yang membutuhkan. perihal yang kesederhanaan dalam pengabdian yang tulus ditunjukkan langsung oleh Pastor Bode Laurent di tempat tugasnya. Perhatikan gambar di bawah ini:

  Sumber:Akun Tiktot @frbode_laurent

Namun, kesederhanaan saja tidak cukup. Kerendahan hati juga diperlukan dalam pengabdian kita kepada sesama. Kerendahan hati adalah sikap yang menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri. Kristus, sebagai teladan yang sempurna, menunjukkan kerendahan hati dengan melayani orang lain dengan penuh kasih dan rendah hati. Sebagai umat pengikut-Nya, kita diingatkan untuk melihat nilai dalam setiap orang, tidak peduli apa latar belakang, status, atau kekurangan mereka. Dalam kerendahan hati, kita tidak hanya mengenali kebutuhan orang lain, tetapi juga siap untuk bertindak dan mengambil bagian dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan demikian, kita dapat membawa cinta Kristus yang lahir dari hati kepada mereka yang membutuhkan.

Dalam dunia yang penuh dengan tantangan dan penderitaan, panggilan untuk menanggung kesulitan saudara-saudari kita dengan cinta dan kerendahan hati adalah penting. Melalui pengabdian dan kasih tanpa pamrih, kita dapat mewujudkan kehadiran Kristus di dunia ini. Saat kita membawa kesederhanaan dan kerendahan hati dalam tindakan kita, kita mampu merangkul orang-orang yang terpinggirkan, memberikan harapan bagi yang putus asa, dan memperbaiki dunia di sekitar kita. Tindakan pelayanan tanpa pamrih ini didasarkan pada apa yang tercantum dalam Injil berkaitan dengan penghakiman terakhir: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.” (Mat. 25:35). Kemudian dilanjutkan lagi dengan sebuah penegasan  “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”(Mat. 25:40).

Kristus mengajarkan kepada kita bukan hanya kesederhanaan dan kerendahan hati, tetapi juga nilai pengorbanan yang tulus. Ia memberikan diri-Nya sebagai korban penebusan bagi umat manusia. Ia rela menderita, wafat dan bangkit untuk seluruh umat manusia(universalitas keselamatan Kristus).[1] Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pengorbanan dalam cinta sejati. Sebab pengorbanan menjadi wujud konkret dari kesederhanaan dan kerendahan hati, dan juga merupakan kunci untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Ketika kita berbicara tentang pengorbanan, itu tidak hanya merujuk pada pengorbanan besar yang tampak spektakuler. Sebaliknya, pengorbanan bisa diwujudkan dalam tindakan-tindakan kecil sehari-hari yang dilakukan dengan tulus dan tanpa pamrih. Mungkin itu berarti mengorbankan waktu kita untuk membantu seseorang yang sedang kesulitan, atau memberikan perhatian ekstra kepada mereka yang merasa terlupakan. Dalam setiap tindakan pengorbanan seperti itu, kita menunjukkan kasih kita kepada sesama dan menghormati martabat mereka sebagai anak-anak Allah.

Apakah pengorbanan bisa membawa kebahagiaan? Pertanyaan ini dapat disesuaikan dengan satu statement dari Pastor Frans Magnis Suseno tentang kebahagiaan. Ketika dia ditanya oleh salah seorang reporter: what makes you happy? Ia menjawab: “Saya kira, saya memikirkan jawabannya dari Aristoteles. Arsitoteles mengatakan, ‘kita hendaknya hidup dengan cara yang membuat kita happy.’ Tetapi ada poin kedua yang jelas ada tapi tidak ditulis eksplisit:  ‘orang tidak menjadi happy kalau dia berusaha menjadi happy’. Jadi oraang mau happy, ia tidak pernah akan menjadi happy. Kita menjadi happy karena terlibat dengan suatu usaha yang bermakna yaitu membantu orang lain.”[2] Dari pernyataan tersebut kita dapat mengatakan bahwa kebahagiaan adalah energi positif yang terpancar dari dalam diri kita kepada sesama. Thomas Aquinas pernah berkata: “Lebih baik mencahayai daripada hanya berkilauan; lebih baik membagikan kepada orang lain kebenaran yang dipelajari, daripada hanya mempelajari kebenaran; “Bonum est diffusium sui”.[3] Itulah sebabnya, ketika kita melihat pengorbanan Kristus, kita memahami bahwa cinta yang tulus dan pengorbanan saling terkait. Ketika kita mengorbankan diri kita sendiri untuk orang lain, kita merasakan kebahagiaan yang mendalam karena kita mengalami kehadiran Kristus dalam tindakan kita. Kebahagiaan sejati tidak terletak pada kepuasan diri atau kekayaan materi, tetapi dalam memberikan diri kita sepenuhnya untuk kasih dan melayani orang lain. Namun, untuk mampu mengorbankan diri kita dengan tulus, kita perlu memiliki ketulusan yang tumbuh dalam hati kita. Ketulusan adalah kejujuran yang mendalam dalam niat serta motivasi dalam bertindak. Ketulusan tidak hanya melibatkan ucapan kata, tetapi juga mempengaruhi pikiran dan hati kita. Ketika kita bertindak dengan ketulusan, kita mengabaikan motif egois dan berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi orang lain tanpa mengharapkan imbalan.

Dengan demikian, dalam cinta, kesederhanaan, kerendahan hati, dan pengorbanan yang tulus, kita dapat menemukan kebahagiaan yang tidak tergoyahkan. Sebab kita hidup sesuai dengan panggilan kita sebagai anak-anak Allah.  Meskipun dunia yang serba hektik dan sering kali materialistik, panggilan untuk saling mengabdi terasa berat. Namun, jika kita mengikuti teladan Kristus dan membiarkan cinta-Nya menggerakkan hati kita, kita akan menemukan kekuatan dan kebahagiaan yang tak tergoyahkan dalam pengorbanan kita. Mari kita berkomitmen untuk menghidupkan nilai-nilai ini, membawa kebahagiaan sejati kepada diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita.

Frater Rio Batlayeri





[1] “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa. Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat. Sungguhpun demikian maut telah berkuasa dari zaman Adam sampai kepada zaman Musa juga atas mereka, yang tidak berbuat dosa dengan cara yang sama seperti yang telah dibuat oleh Adam, yang adalah gambaran Dia yang akan datang. Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus. Dan kasih karunia tidak berimbangan dengan dosa satu orang. Sebab penghakiman atas satu pelanggaran itu telah mengakibatkan penghukuman, tetapi penganugerahan karunia atas banyak pelanggaran itu mengakibatkan pembenaran. Sebab, jika oleh dosa satu orang, maut telah berkuasa oleh satu orang itu, maka lebih benar lagi mereka, yang telah menerima kelimpahan kasih karunia dan anugerah kebenaran, akan hidup m  dan berkuasa oleh karena satu orang itu, yaitu Yesus Kristus. Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup. Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang   semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar.”ALKITAB Deuterokanonika, 2019th ed. (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, n.d.). ( Roma 5:12-19). Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan Dalam Gereja Katolik (PT Kanisius, 2008), 93.

[2] Dapat dilihat di akun tiktok @garisopini_

[3] Aquinas, ST II-II, q. 188, a.6, c.).


Dua Sumber Lain:

1. Pope Francis. Evangelii Gaudium: Apostolic Exhortation on the Proclamation of the Gospel in Today's World. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2013.

2. Benedict XVI. Deus Caritas Est: Encyclical Letter on Christian Love. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2005.







 






 

No comments:

Post a Comment