“Yesus dibuat ‘Menjadi Berdosa’?”



Dosa memisahkan manusia dari Allah dan mengubah situasi harmonis menjadi kehancuran(Kosmos menjadi Khaos). Meskipun kekuatan dosa terlihat kuat dalam menguasai manusia, itu tidak menghalangi kemurahan Allah. Justru dalam keadaan yang hancur, Allah semakin intens mengasihi putra-putri yang telah Dia ciptakan.[1] Salah satu bukti konkret dari kemurahan tersebut adalah inisiatif-Nya untuk menyatakan diri kepada umat manusia melalui pewahyuan. Sejak zaman dahulu (Perjanjian Lama), Allah mengutus para nabi untuk membimbing manusia menuju kebenaran dan keselamatan. Puncak pelaksanaan definitif dari pewahyuan ini adalah ketika Allah mengutus Putera-Nya yang tunggal sebagai penebusan bagi dunia.[2]

Yesus Kristus sebagai yang menggenapkan wahyu itu datang ke dunia menjadi manusia. Dalam kehadiran-Nya ini, Allah menunjukkan bahwa Dia tidak hanya tinggal di dalam diri-Nya yang suci dan murni, tetapi juga keluar untuk menemui realitas eksistensial manusia yang terkungkung dalam kuasa dosa. Yesus yang tidak mengenal dosa, dibuat ‘menjadi berdosa’ bukan dalam arti sebagai ‘pendosa’ melainkan yang menanggung ‘akibat’ dari dosa itu (Bdk. 2Kor.5:21).  Artinya bahwa Ia yang oleh kuasa Ilahi berhasil menghancurkan kuasa dosa ­(Peccatum), perbuatan dosa (peccati) dan pelaku dosa (Peccator).[3]

Namun sebagai konsekuensi dari usaha-Nya untuk menebus dosa seluruh umat manusia, Yesus harus menanggung kematian-Nya yang penuh penderitaan. Meskipun demikian, kematian tidak dapat menguasai Yesus yang merupakan Allah Putera yang berkuasa atas kehidupan dan kematian. Musuh terakhir yang berhasil dikalahkan-Nya adalah kematian itu sendiri, dan kebangkitan-Nya menunjukkan kemenangan-Nya yang abadi. Dalam cara yang sama, Yesus akan melakukannya bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya dengan mengubah kematian yang fana dengan menganugerahkan kehidupan kekal.[4] Jadi, Yesus yang berinkarnasi menjadi manusia itu menghancurkan dosa dan mengangkat manusia dari belenggu dosa menuju keselamatan melalui peristiwa salib.

Bertobat adalah suatu panggilan untuk kembali kepada Allah. Melalui peristiwa salib Yesus Kristus, Allah telah menunjukkan kemurahan dan belas kasih-Nya kepada dunia.[5] Kemurahan itu tampak melalui sakramen-sakramen(Pertobatan) yang adalah tanda dan sarana keselamatan. Namun, manusia perlu membuka dirinya untuk menerima rahmat dan pengampunan yang Allah tawarkan. Keselamatan dari pihak Allah sudah tergenapi, tinggal bagaimana dari pihak manusia meresponsnya. Keselamatan akan terlaksana bagi mereka yang mencarinya seperti anak yang hilang yang sadar dan kembali kepada bapanya(lih. Luk. 15:11-32). Artinya, tanggapan dan partisipasi manusia dalam rencana keselamatan ini sangat penting.

Manusia perlu berusaha mengalahkan kuasa dosa dalam hidupnya dan secara terus-menerus berjuang untuk hidup dalam kebenaran dan ketaatan kepada Allah. Meskipun manusia sering kali jatuh dalam dosa, tetapi tidak boleh berputus asa. Sebaliknya, ia harus bangkit dari kejatuhan itu dan mendatangi takhta kerahiman Allah melalui sakramen pertobatan, sambil memohon pengampunan dosa. Sebab kuasa pengampunan itu telah diserahkan oleh Kristus kepada para rasul serta mereka yang oleh rahmat tahbisan diangkat untuk menuntun jiwa-jiwa kepada keselamatan. Oleh karena itu, kita tidak boleh merasa jemu atau lelah untuk selalu bertobat dan mengunjungi kamar pengakuan. Keselamatan sudah ada dan tersedia bagi kita, tinggal bagaimana kita mau terbuka untuk menerimanya. Apakah anda mau bertobat? Atau kamu tetap mau berkanjang di dalam dosa yang berujung pada kematian kekal?

Frater Batlayeri

 

“Bertobat adalah penyesalan atas dosa-dosa. Namun penyesalan itu tidak akan berfaedah apabila tidak ditunjukkan dalam pembaharuan diri. Pembaharuan berarti meninggalkan pakaian lama dan bertekad bulat untuk mengenakan pakaian baru yaitu hidup di dalam KASIH KRISTUS: mengasihi Allah dan sesama.”



[1] Namun kemurahan ini tidak boleh dimengerti bahwa Allah mengiyakan manusia berkanjang dalam dosa. Artinya, Allah tidak membiarkan umat manusia terlena dan terkungkung dalam dosa. Olehnya itu manusia haruslah menggunakan kemurahan ini untuk bertobat dan berpaling dari keberdosaan itu; bukan sebaliknya, manusia menggunakan kemurahan itu untuk terus berbuat dosa.

[2] Bdk. ALKITAB Deuterokanonika, 2019th ed. (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, n.d.). Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya,  yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.(Ibrani. 1:1-2); atau Bdk. KGK: "Nomor. 50  Melalui keputusan yang sama sekali bebas, Allah mewahyukan dan memberikan Diri kepada manusia, dan menyingkapkan rahasia-Nya yang paling dalam, keputusan-Nya yang berbelas kasih, yang Ia rencanakan sejak keabadian di dalam Kristus untuk semua manusia. Ia menyingkapkan rencana keselamatan-Nya secara penuh, ketika Ia mengutus Putera-Nya yang terkasih, Tuhan kita Yesus Kristus dan Roh Kudus."

[3]Dalam bahasa Latin, istilah "Peccatum" mengacu pada kuasa dosa yang merupakan penyebab terjadinya dosa-dosa. Kuasa dosa ini adalah kekuatan misterius yang menyebabkan kecenderungan jahat dan terwujud dalam perbuatan dosa. Sementara itu, istilah "peccati" merujuk pada perbuatan dosa yang konkret. Peccati adalah dosa-dosa individu yang timbul karena adanya manusia dalam kuasa dosa. Manusia berada di antara kuasa dosa dan perbuatan-perbuatan dosa sebagai peccator atau pelaku dosa. Manusia hidup dalam pengaruh kuasa dosa dan juga menjadi penyebab lahirnya tindakan dosa.  Bdk. Albertus Sujoko, Praktek Sakramen Pertobatan Dalam Gereja Katolik (PT Kanisius, 2008), 88.

[4] Bdk. KGK No.655: “Akhirnya kebangkitan Kristus dan Kristus yang telah bangkit itu sendiri adalah sebab dan dasar utama kebangkitan kita yang akan datang: "Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung... Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikianlah semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus" (1 Kor 15:20-22). Selama menantikan pemenuhan ini, Kristus yang telah bangkit hidup dalam hati umat beriman. Dalam Kristus yang telah bangkit, umat Kristen mengecap "karunia-karunia dunia yang akan datang" (Ibr 6:5) dan hidupnya dilindungi Kristus di dalam Allah Bdk. Kol 3:1-3., "supaya mereka yang hidup tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka" (2 Kor 5:15).”

[5]Allah, dalam kasih-Nya yang tak terbatas, mengorbankan Putera-Nya sendiri sebagai penebus bagi seluruh umat manusia. Melalui pengorbanan-Nya, darah dan air yang mengalir dari lambung-Nya melahirkan Gereja dan sakramen-sakramen yang merupakan sarana kasih dan rahmat-Nya kepada umat-Nya. Bdk. Herman Yoseph Batlayeri, “Makalah ‘Indulgensi Dalam Agama Katolik: Konsep, Perkembangan, Praktik, Dan Kontroversi,“Indulgensi-Dalam-Agama-Katolik(blog)-accessed:June14,2023,https://veritashumanis-blogspot.com/2023/05/indulgensi-dalam-agama-katolik-konsep.html.

No comments:

Post a Comment