Manusia: Makhluk Merindu




Manusia adalah makhluk merindu. Ia selalu bergerak dalam dimensi keterarahan yang tak pernah selesai. Kerinduan ini bukan sekadar afeksi psikologis, melainkan daya penggerak eksistensial yang menegaskan dirinya sebagai ens transcendence—makhluk yang melampaui diri dan kenyataan yang kasat mata. Dalam kerinduan, manusia tidak hanya dihadapkan pada yang ada (actus essendi), tetapi juga yang tiada, yang menjadi bayang-bayang kemungkinan dalam lintasan eksistensinya. Ia berusaha mengatasi keterbatasan ontologis dengan menenun jembatan antara yang pernah ada: masa lalu yang telah membentuk subjektivitasnya; dan yang belum tiba: masa depan yang menyimpan potensi akan kebermaknaan yang lebih tinggi.

Sebagai entitas aktual, manusia berada dalam tegangan dialektis yang kompleks antara memori dan proyeksi. Dua hal ini menjadi medan tarik-menarik antara yang telah berlalu dan yang belum terwujud. Pertama, kerinduan mengubah memori menjadi daya kreatif yang aktif, bukan sekadar ingatan pasif. Ia menjadi energi batin yang menggugah dan membentuk identitas eksistensial manusia. Masa lalu hadir sebagai ars memoriae yang penuh nostalgia, menyimpan sukacita dan luka. Pengalaman-pengalaman itu tak hanya diingat, tetapi dihidupi ulang dalam batin. Manusia merindukan kembali momen-momen yang telah membentuknya, seolah ingin mengulang atau merekonstruksi fragmen-fragmen yang kurang sempurna. Kedua, proyeksi masa depan menjadi ruang imajinasi eksistensial, di mana kerinduan mendorong manusia untuk melampaui batas aktualitas menuju horizon kemungkinan. Masa depan bukanlah sekadar waktu yang belum tiba, melainkan potensi kebermaknaan yang sedang mengalir. Dalam proyeksi inilah manusia merajut visi akan diri yang baru. Ia berusaha menuju becoming yang dinamis dan terus menerus. Manusia keluar dari determinasi masa kini menuju transformasi eskatologis yang lebih ideal.

Dengan demikian, kerinduan menjadi manifestasi ontologis manusia yang tak pernah selesai, menuntunnya dalam pencarian makna dan pemenuhan diri. Ia adalah motor yang mendorong manusia melintasi batas keber-ada-an menuju keber-makna-an, dari yang fana ke yang baka. Dalam kerinduan, manusia tidak hanya mengada, tetapi juga terus menjadi—sebuah proses becoming yang tiada henti. Melalui kerinduan, manusia berusaha mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya dan tempatnya dalam kosmos sambil terus-menerus mencari keselarasan antara realitas empiris dan ideal. Dalam perjalanan ini, kerinduan juga berfungsi sebagai medium transendensi, menghubungkan pengalaman duniawi dengan aspirasi spiritual, dan memfasilitasi perjalanan manusia menuju aktualisasi diri yang lebih mendalam dan autentik.


Tesis Awal 

Penulis: Fr. rio Batlayeri


No comments:

Post a Comment