Secara etimologis, Tri Hita Karana memiliki akar kata dalam bahasa Sanskerta, terdiri dari kata Tri, Hita, dan Karana. "Tri" memiliki arti tiga, "Hita" bermakna sejahtera atau kebahagiaan, dan "Karana" berarti penyebab. Tri Hita Karana adalah konsep tiga ajaran yang mengantar manusia untuk mencapai kesejahteraan hidup dalam masyarakat. Dalam konteks agama Hindu, kebahagiaan dianggap terwujud apabila hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam berjalan dengan harmonis (Lih. Peters, 2013, p. 4). Dalam pandangan ini, manusia memiliki peran kunci dalam menjaga keseimbangan di antara ketiga faktor tersebut. Setiap aktivitas dalam kehidupan diatur oleh aturan, baik itu di alam bebas maupun di dunia. Semua entitas di alam ini diharapkan untuk mengikuti aturan tersebut, karena ketidakpatuhan dapat menyebabkan terjadinya kehancuran atau adanya aura negatif.
1. Relasi dengan Tuhan (Parahayangan)
Asal usul kata "Parahyangan" dapat ditarik dari gabungan kata "para" yang berarti tertinggi, dan "Hyang" yang merujuk kepada Tuhan. Dalam konteks ini, Parahyangan mengandung makna terkait dengan ketuhanan atau aspek-aspek yang berkaitan dengan keagamaan, khususnya dalam upaya memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa (Mudarman, 2024). Sebagian besar masyarakat menginterpretasikan Parahyangan sebagai tempat suci, seperti Pura, tempat untuk menghormati Tuhan.
Aktivitas penghormatan atau penyembahan kepada Tuhan dilakukan oleh manusia karena adanya sifat-sifat satvika (kebajikan) yang dimiliki. Bhakti dan sikap tunduk pada Tuhan muncul dalam hati manusia karena kehadiran Sanghyang Widhi yang maha ada, memiliki kuasa, penuh kasih, dan melimpahkan kebijaksanaan kepada ciptaan-Nya. Sebagai umat beragama, kita merasa berhutang budi secara lahir dan batin kepada Tuhan, yang tak dapat dibalas dengan apapun. Oleh karena itu, satu-satunya cara yang bisa kita lakukan sebagai ungkapan terima kasih adalah dengan menghaturkan bhakti dan kesadaran sebesar-besarnya kepada-Nya.
2. Relasi dengan Sesama (Pawongan)
Pawongan memiliki akar kata dari "wong" (atau "wang" dalam bahasa Jawa/Kawi) yang berarti orang. Konsep pawongan mencakup hal-hal yang terkait dengan kehidupan sosial manusia dalam suatu masyarakat. Secara sempit, pawongan merujuk pada kelompok manusia yang hidup bersama dalam satu wilayah. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat eksis secara individual, melainkan memerlukan bantuan dan kerjasama dengan sesama. Karena itulah, pentingnya menjaga hubungan harmonis dan baik antar sesama manusia. Interaksi antar manusia sebaiknya didasarkan pada prinsip saling asah, saling asih, dan saling asuh, yang mengartikan penghargaan, kasih sayang, dan bimbingan satu sama lain (Mudarman, 2024). Keharmonisan dalam hubungan keluarga di rumah serta dengan masyarakat luas akan menciptakan suasana aman dan damai, baik secara fisik maupun batin. Masyarakat yang hidup dalam kedamaian dan keamanan akan berkontribusi pada terciptanya negara yang tenteram dan sejahtera memiliki akar dalam keyakinan filosofis dan spiritual, terutama dalam konteks pandangan Agama Hindu. Konsep ini secara erat terkait dengan pemahaman Hindu tentang penciptaan manusia dan pembentukan masyarakat (pawongan) setelah Tuhan menciptakan alam atau bhuwana.
Menurut ajaran Hindu, penciptaan manusia dan alam semesta merupakan bagian integral dari tatanan kosmik yang lebih besar. Proses penciptaan ini dipandang sebagai manifestasi dari kebijaksanaan Ilahi, yang bertujuan untuk membawa keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan. Setelah penciptaan alam semesta, manusia dianggap sebagai bagian dari keseluruhan yang saling terkait. Seiring dengan perkembangan manusia dan penghimpunan dalam suatu wilayah, terbentuklah masyarakat yang menjadi cikal bakal kehidupan bersama. Konsep ini menekankan bahwa manusia tidak dapat hidup dalam isolasi, melainkan dia diarahkan untuk hidup dalam komunitas. Masyarakat dianggap sebagai wadah di mana individu-individu saling berinteraksi, berbagi nilai-nilai, dan membentuk norma-norma yang mengatur kehidupan bersama. Kedamaian dan keamanan di dalam masyarakat dianggap sebagai hasil dari penghormatan terhadap dharma (kewajiban moral) oleh setiap individu. Dengan mematuhi dharma, masyarakat dapat mencapai keseimbangan dan menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan spiritual dan materialnya.
3. Relasi dengan alam (Palemahan)
Palemahan berasal dari kata lemah (Bahasa Jawa) yang artinya tanah. Palemahan juga berarti bhuwana atau alam. Dalam artian yang sempit palemahan berarti wilayah suatu pemukiman atau tempat tinggal. Manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Manusia memperoleh bahan keperluan hidup dari lingkungannya. Manusia dengan demikian sangat tergantung kepada lingkungannya. Oleh karena itu, manusia harus selalu memperhatikan situasi dan kondisi lingkungannya. Lingkungan harus selalu dijaga dan dipelihara serta tidak dirusak. Lingkungan harus selalu bersih dan rapi. Lingkungan tidak boleh dikotori atau dirusak. Hutan tidak boleh ditebang semuanya, binatang-binatang tidak boleh diburu seenaknya, karena dapat mengganggu keseimbangan alam (Mudarman, 2024). Lingkungan justru harus dijaga kerapiannya, keserasiannya dan kelestariannya. Lingkungan yang ditata dengan rapi dan bersih akan menciptakan keindahan. Keindahan lingkungan dapat menimbulkan rasa tenang dan tenteram dalam diri manusia.
Manusia, sebagai bagian integral dari eksistensi di muka bumi, memiliki kebutuhan yang mendalam akan ketenteraman, kesejukan, ketenangan, dan kebahagiaan baik secara lahir maupun batin. Untuk mencapai tujuan tersebut, manusia tidak dapat mengabaikan keterhubungannya dengan Bhuwana Agung, yakni alam semesta. Hubungan manusia dengan alam semesta menjadi fondasi bagi terbentuknya harmoni yang esensial dalam kehidupan. Kehidupan manusia selalu terkait erat dengan alam, karena manusia tidak hanya tinggal di atas bumi, tetapi juga hidup dari hasil alam. Pemahaman ini menciptakan suatu paradigma bahwa manusia bukanlah entitas terpisah dari alam, melainkan merupakan bagian integral dari ekosistem yang kompleks. Dalam keseharian, manusia bergantung pada sumber daya alam untuk kebutuhan hidupnya, seperti makanan, air, udara, dan berbagai kebutuhan lainnya. Kesadaran akan Adanya ketergantungan inilah, maka dalam agama Hindu, manusia perlu membina hubungan harmonis dengan alam semesta. Jika manusia mampu menjalin relasi dengan alam secara bijak, menghormati keberagaman ekosistem, dan menjaga keseimbangan lingkungan, ia sudah menghidupi apa yang diajarkan dalam agama.
Hasil Penelitian (Wawancara) di Pura Jagaditha Taas Manado
Penulis: Fr. Rio, Fr. Ekel, Fr. Jordy, Hans dan Yosep
Daftar Pustaka
Mudarman, W. (2024, February 11). Hasil Wawancara I Fungsi Edukatif Agama Hindu. Edukatif-Religiositas.
Peters, J. H. (2013). Tri Hita Karana: The Spirit of Bali. Kepustakaan Populer Gramedia.

No comments:
Post a Comment