“Allah Tidak Mati Rasa” Renungan: Sabtu, 7 Desember 2024

 



Peringatan Wajib St. Ambrosius, Uskup dan Pujangga Gereja

Yes. 30:19-21,23-26; Mzm. 147:1-2,3-4,5-6; Matius 9:35-10:1.6-8

Saudara-saudari terkasih saat ini kita menyaksikan wajah dunia yang diliputi dengan “virus mati rasa”. Banyak dari antara kita yang sangat-sangat pasif. Misalnya saja, beberapa bulan yang lalu, saya sempat menonton salah satu video kecelakaan yang diposting di facebook melalui akun Sulut Viral. Video itu direkam oleh seorang ibu yang sudah tua tapi kurang bijaksana. Dia sibuk buat konten sampai lupa bahwa si korban itu sudah mau hampir mati. Dia ada di situ, tapi hatinya tidak tergerak untuk menolong atau mencari pertolongan. Konten lebih berharga daripada nyawa seseorang. Inilah tragedi mengerikan dan memalukan di zaman ini.

Bacaan-bacaan yang kita dengarkan hari ini menjadi semacam “gada besi” yang diperuntukkan untuk menangkal virus mati rasa ini. Nubuat Nabi Yesaya dalam bacaan pertama menunjukkan bahwa Allah yang kita imani tidak mati rasa melainkan Dia adalah Allah yang senantiasa tergerak oleh belas kasihan. Ia tidak memalingkan wajah-Nya saat umat-Nya berseru-seru. Ia datang dengan segera untuk membalut dan menyembuhkan luka-luka bekas pukulan yang dialami oleh mereka. Sekalipun bangsa ini menyimpang ke kiri atau ke kanan, Ia tetap datang menyertai mereka. Sungguh, bahwa hati Allah adalah hati yang berbelas kasih.

Hati Allah yang berbelas kasih itu juga ditunjukkan Yesus dalam Injil tadi. Ketika melihat kaum kecil dan domba-domba yang sesat, hati-Nya tergerak oleh belas kasihan. Rasa belas kasih ini adalah awal dari perluasan misi kerajaan Allah di bumi. Ia mengutus dan memberi kuasa kepada keduabelas murid-Nya untuk mewartakan kerajaan Allah kepada mereka yang sesat, menyembuhkan yang sakit, membangkitkan orang mati dan mengusir setan-setan. Inilah cara Yesus dalam menunjukkan kepada kita bahwa sikap mati rasa tidak dapat menyelamatkan. Kalau seandainya Allah mati rasa, maka kita tidak mengalami keselamatan dan pastinya kita akan tetap terbelenggu dalam penderitaan, seperti umat Israel yang pernah diperbudak di Mesir atau berada dalam pembuangan di Babel.

Santo Amrosius yang kita peringati hari ini juga bukan tipe orang yang mati rasa. Buktinya, ia mampu menggerakkan dirinya untuk membela ajaran-ajaran iman. Melalui khotbah-khotbah yang tajam dan tulisan-tulisan yang memikat ia menjadi Uskup yang baik yang mampu melindungi domba-domba dari ajaran-ajaran Arian yang menyesatkan pada waktu.

Sebagai orang-rang yang mengimani Kristus hendaklah kita senantiasa mengasah hati dan menjernihkan pikiran agar kita tidak gampang terkontaminasi dengan virus mati rasa. Apabila saat ini kita sudah terlanjur mati rasa, maka masa adven ini menjadi momen untuk meluruskan jalan-jalan yang bengkok itu. Supaya pada waktunya Anak Manusia datang kita teguh berdiri di hadapan-Nya sebagai orang benar yang layak diselamatkan. Apabila kita tidak segera membasmi virus mati rasa ini maka kebinasaan akan menjadi akhir dari perjalanan hidup kita.  

Penulis: Fr. Rio Batlayeri

No comments:

Post a Comment