Peringatan Wajib
St. Ambrosius, Uskup dan Pujangga Gereja
Yes. 30:19-21,23-26; Mzm. 147:1-2,3-4,5-6; Matius 9:35-10:1.6-8
Saudara-saudari
terkasih saat ini kita menyaksikan wajah dunia yang diliputi dengan “virus mati
rasa”. Banyak dari antara kita yang sangat-sangat pasif. Misalnya saja, beberapa
bulan yang lalu, saya sempat menonton salah satu video kecelakaan yang
diposting di facebook melalui akun Sulut Viral. Video itu direkam oleh
seorang ibu yang sudah tua tapi kurang bijaksana. Dia sibuk buat konten sampai
lupa bahwa si korban itu sudah mau hampir mati. Dia ada di situ, tapi hatinya
tidak tergerak untuk menolong atau mencari pertolongan. Konten lebih berharga
daripada nyawa seseorang. Inilah tragedi mengerikan dan memalukan di zaman ini.
Bacaan-bacaan
yang kita dengarkan hari ini menjadi semacam “gada besi” yang diperuntukkan
untuk menangkal virus mati rasa ini. Nubuat Nabi Yesaya dalam bacaan pertama
menunjukkan bahwa Allah yang kita imani tidak mati rasa melainkan Dia adalah
Allah yang senantiasa tergerak oleh belas kasihan. Ia tidak memalingkan
wajah-Nya saat umat-Nya berseru-seru. Ia datang dengan segera untuk membalut
dan menyembuhkan luka-luka bekas pukulan yang dialami oleh mereka. Sekalipun
bangsa ini menyimpang ke kiri atau ke kanan, Ia tetap datang menyertai mereka.
Sungguh, bahwa hati Allah adalah hati yang berbelas kasih.
Hati
Allah yang berbelas kasih itu juga ditunjukkan Yesus dalam Injil tadi. Ketika
melihat kaum kecil dan domba-domba yang sesat, hati-Nya tergerak oleh belas
kasihan. Rasa belas kasih ini adalah awal dari perluasan misi kerajaan Allah di
bumi. Ia mengutus dan memberi kuasa kepada keduabelas murid-Nya untuk
mewartakan kerajaan Allah kepada mereka yang sesat, menyembuhkan yang sakit,
membangkitkan orang mati dan mengusir setan-setan. Inilah cara Yesus dalam menunjukkan kepada kita bahwa
sikap mati rasa tidak dapat menyelamatkan. Kalau seandainya Allah mati rasa,
maka kita tidak mengalami keselamatan dan pastinya kita akan tetap terbelenggu
dalam penderitaan, seperti umat Israel yang pernah diperbudak di Mesir atau
berada dalam pembuangan di Babel.
Santo
Amrosius yang kita peringati hari ini juga bukan tipe orang yang mati rasa.
Buktinya, ia mampu menggerakkan dirinya untuk membela ajaran-ajaran iman.
Melalui khotbah-khotbah yang tajam dan tulisan-tulisan yang memikat ia menjadi
Uskup yang baik yang mampu melindungi domba-domba dari ajaran-ajaran Arian yang
menyesatkan pada waktu.
Sebagai
orang-rang yang mengimani Kristus hendaklah kita senantiasa mengasah hati dan
menjernihkan pikiran agar kita tidak gampang terkontaminasi dengan virus mati
rasa. Apabila saat ini kita sudah terlanjur mati rasa, maka masa adven ini
menjadi momen untuk meluruskan jalan-jalan yang bengkok itu. Supaya pada
waktunya Anak Manusia datang kita teguh berdiri di hadapan-Nya sebagai orang
benar yang layak diselamatkan. Apabila kita tidak segera membasmi virus mati
rasa ini maka kebinasaan akan menjadi akhir dari perjalanan hidup kita.
No comments:
Post a Comment