Pergeseran Paradigma Teosentrisme ke Antroposentrisme: Mencermati Krisis Nilai dalam Dunia Modern

 

Tuhan pernah menjadi dasar dari semua eksistensi. Teosentrisme melihat-Nya sebagai sumber nilai dan tujuan. Setiap tindakan diarahkan oleh pandangan ini. Dalam kerangka harmoni kosmis, manusia memandang diri sebagai bagian integral tatanan ilahi. Tuhan tidak sekadar pencipta, tetapi alasan hidup. Hasilnya adalah rasa syukur, penghormatan, dan keterhubungan mendalam.

Namun, hal itu mengalami pergeseran saat dunia memasukki abad Pencerahan. Rasionalitas manusia naik sebagai pusat kehidupan. Otonomi pribadi menjadi utama. Manusia mulai mendefinisikan eksistensinya tanpa acuan transenden. Nilai moral yang sebelumnya stabil tergantikan oleh utilitarianisme materialistik. Dalam perkembangan ini, muncul paradoks besar. Kehidupan modern maju, tetapi menghadirkan kekosongan makna. Hubungan dengan Tuhan, alam dan sesama melemah. Eksistensi manusia kehilangan keseimbangannya.

Transformasi dari Teosentrisme ke Antroposentrisme

Peralihan paradigma ini mencerminkan perubahan besar dalam pemikiran manusia. Teosentrisme menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya sumber nilai. Segala hal dilihat dalam kerangka transendensi. Namun, sejak Pencerahan, cara pandang ini berubah. Humanisme mulai menekankan pentingnya manusia. Otonomi, kebebasan, dan rasionalitas menjadi nilai utama. Seni dan ilmu pengetahuan berkembang pesat. Manusia dipandang mampu menentukan arah hidupnya. Akibatnya, antroposentrisme berkembang pesat. Dalam paradigma ini, manusia dianggap memiliki kendali penuh atas hidup dan dunianya.

Namun, transformasi ini tidak tanpa konsekuensi. Ketergantungan pada nilai-nilai transenden mulai memudar. Fokus pada utilitariansime materialistik meningkat. Pergeseran ini menimbulkan dilema moral baru. Masalah etis muncul karena nilai-nilai manusiawi lebih sering ditentukan oleh logika untung dan rugi. Dalam konteks ekonomi, sistem kapitalisme menjadi salah satu contohnya. Kapitalisme mengutamakan produktivitas dan efisiensi. Dalam banyak kasus, kesejahteraan manusia menjadi korban. Contoh nyata adalah meningkatnya praktik eksploitasi pekerja. Menurut Global Slavery Index 2023, sekitar 50 juta orang di seluruh dunia menjadi korban perbudakan modern, termasuk kerja paksa dan pernikahan paksa. Hal ini menunjukkan bahwa banyak individu diperlakukan sebagai alat ekonomi tanpa memedulikan nilai kemanusiaan mereka.

Kerusakan lingkungan juga menjadi bukti nyata dampak dominasi materialisme. Alam dieksploitasi tanpa henti. Tujuannya adalah keuntungan jangka pendek. Deforestasi, pencemaran udara dan air, hingga perubahan iklim menjadi akibatnya. Keputusan manusia terhadap alam sering kali egoistis. Menurut laporan PBB, tahun 2023 mencatat rekor tertinggi deforestasi di beberapa kawasan tropis. Pendekatan seperti ini mencerminkan sisi gelap antroposentrisme yang materialistik.

Krisis Relasi Antar Manusia

Antroposentrisme juga berdampak pada hubungan antar manusia. Kehendak individu sering ditempatkan di atas segalanya. Solidaritas semakin terkikis. Orang lain cenderung dilihat sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi.

Praktik-praktik seperti korupsi, eksploitasi tenaga kerja, hingga perang menjadi contoh nyata. Konflik bersenjata yang berlangsung di berbagai negara sering berakar pada ambisi ekonomi dan politik. Contohnya, peperangan di Timur Tengah sering terkait dengan perebutan sumber daya alam. Banyak negara terlibat konflik demi minyak atau akses geopolitik. Akibatnya, rakyat sipil menjadi korban utama. Tahun 2023, misalnya, menyaksikan peningkatan intensitas konflik di Sudan yang memicu eksodus lebih dari 4 juta penduduk sipil.

Kemiskinan global juga menjadi bukti nyata kerusakan relasi ini. Menurut data Bank Dunia, sekitar 680 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem pada 2023. Ketimpangan ekonomi mempertegas fakta bahwa sistem global tidak mengutamakan kemanusiaan. Segelintir orang menguasai kekayaan besar, sementara miliaran lainnya hidup dalam keterbatasan.

Kehampaan Eksistensial dan Relativisme Nilai

Selain kerusakan sosial, antroposentrisme menghadirkan persoalan eksistensial. Ketika kepercayaan kepada Tuhan memudar, manusia kehilangan pegangan. Friedrich Nietzsche menyebut situasi ini sebagai "kematian Tuhan." Kehilangan acuan transenden menyebabkan kehampaan.

Tanpa Tuhan, nilai-nilai moral menjadi relatif. Apa yang dianggap baik atau benar bergantung pada individu atau kelompok. Tidak ada standar universal. Hal ini memengaruhi budaya modern. Konsumerisme dan hedonisme menjadi dominan. Banyak orang terjebak dalam gaya hidup konsumtif. Menurut laporan WHO 2023, lebih dari 300 juta orang mengalami depresi akibat tekanan sosial dan gaya hidup modern. Media sosial memperburuk keadaan ini. Kehidupan banyak orang difokuskan pada pencitraan dan validasi eksternal.

Akibatnya, banyak manusia kehilangan makna. Mereka menjalani kehidupan tanpa tujuan yang jelas. Kehampaan ini berdampak pada kesehatan mental. Depresi dan kecemasan meningkat secara global, menunjukkan adanya krisis eksistensial yang memerlukan perhatian serius.

Memulihkan Harmoni antara Teosentrisme dan Antroposentrisme

Meski memiliki dampak negatif, antroposentrisme juga membawa manfaat. Paradigma ini mempromosikan penghormatan terhadap hak individu. Kebebasan dan kemajuan ilmu pengetahuan menjadi hasil penting. Namun, tantangan utama adalah menciptakan harmoni. Teosentrisme dan antroposentrisme perlu saling melengkapi.

Pendekatan filsafat ekologis dapat menjadi solusi. Arne Naess, melalui gagasan deep ecology, menawarkan perspektif menarik. Manusia dan alam dilihat sebagai entitas yang saling bergantung. Penghormatan terhadap nilai intrinsik alam menjadi kunci. Jika manusia mampu mengintegrasikan perspektif ini, keseimbangan ekologis dapat tercapai.

Agama juga dapat berperan besar. Nilai-nilai seperti kasih, keadilan, dan solidaritas harus dikuatkan kembali. Namun, ajaran agama perlu dipahami secara relevan dengan tantangan modern. Agama harus menjadi sumber solusi, bukan sumber konflik. Dengan demikian, nilai spiritualitas dapat menjadi pemandu dalam menciptakan dunia yang lebih adil.

Penutup: Menuju Paradigma Integratif

Pergeseran dari teosentrisme ke antroposentrisme adalah bagian dari perjalanan sejarah manusia. Ini adalah tantangan, bukan akhir. Kita memerlukan paradigma yang integratif. Paradigma ini harus mampu menyelaraskan nilai spiritualitas dan materialitas.

Manusia harus menciptakan dunia yang lebih bermakna. Teknologi, sains, dan budaya harus digunakan untuk kebaikan bersama. Alam harus diperlakukan dengan hormat. Relasi antar manusia harus kembali didasarkan pada martabat. Dengan refleksi yang mendalam, visi ini dapat diwujudkan.

Antroposentrisme dan teosentrisme tidak harus saling menggantikan. Keduanya dapat bekerja bersama. Dalam sinergi ini, manusia tidak hanya menguasai dunia, tetapi juga merawatnya.

Penulis: Fr. Rio Batlayeri 


No comments:

Post a Comment