1. Deskripsi Kasus
TikTok menjadi platform media sosial paling populer
saat ini. Sistemnya memungkinkan konten cepat viral. Supaya cepat viral dan
mendatangkan keuntungan finansial, banyak kreator berlomba-lomba membuat video
yang menarik perhatian. Salah satu tren yang berkembang pesat dan hampir
mendominasi ialah konten berbagi.[1] Kreator akan merekam momen saat mereka
memberikan sejumlah uang, makanan, atau barang tertentu kepada orang yang
membutuhkan. Tujuannya jelas: membuat penonton terharu dan tergerak untuk
memberikan like, comment, dan share. Semakin terus-menerus konten
berjenis ini diunggah di TikTok maka peluang untuk masuk ke halaman For
You Page (FYP) juga semakin besar. Hal tersebut pada gilirannya
mendatangkan lebih banyak views dan followers bagi kreator
tersebut.
Tren konten berbagi juga berkembang pesat di Indonesia. Salah satu kreator yang menonjol dalam kategori ini adalah Willie Salim. Ia berhasil menarik perhatian jutaan netizen melalui akun TikTok-nya, @williesalim. Akun tersebut kini memiliki 65,4 juta followers dan 1,3 miliar like.[2]
Dalam videonya, ia kerap memberikan uang atau barang kepada orang-orang secara spontan serta merekam reaksi mereka. Misalnya, pada tanggal 3-4 Februari ia memperoleh apresiasi dari netizen melalui 6 konten terbarunya yang berkaitan dengan pembangunan salah satu gedung sekolah di daerah terpencil. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel yang terlampir:
2. Analisis Filosofis
Untuk menganalisis kasus di atas, bagian ini kita
menggunakan teori sosial yang digagas oleh K.E Løgstrup. Ada dua komponen dari
teorinya yang diperuntukkan untuk membaca kasus tersebut:
2.1. Kenyataan Ontologis
Menurut Løgstrup manusia bukan sekadar being-with
(ada dengan) sebagaimana yang ditekankan oleh Heidegger dalam analisis
eksistensialnya, melainkan being-for (ada bagi) yang lain.[3]
Ada bagi yang lain selalu mendahului eksistensi manusia yaitu ada bersama
dengan yang lain. Gagasan ini bersumber
pada warta cinta kasih yang dikumandangkan oleh Yesus: “Kasihilah sesamamu
seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:39). Bagi Løgstrup, maklumat cinta kasih itu
bukan sekadar aksi voluntaristik melainkan aksi ontologis yang mendefinisikan
keberadaan manusia.
Hanya kalau manusia menyadari kodratnya sebagai yang terberi (the given) maka ia dapat menembusi aspek luaran menuju lapisan ontologis tersebut. Lapisan ini bukan semacam kepatuhan terhadap norma eksternal. Ia melampaui segala kepatuhan dan kewajiban normatif. Tidak dapat diartikulasikan serta muncul secara spontan dan bebas dari motif-motif terselubung. Bercorak asimetris tanpa perhitungan untung-rugi. Subjek etis tidak menakar tindakannya dengan ekspetasi menerima imbalan yang setara. Itulah yang dimaksudkan oleh Løgstrup sebagai being-for (ada bagi) yang lain.
Dalam arti itu, konten berbagi demi membuat penonton terharu
dan tergerak untuk memberikan like, comment, dan share yang pada gilirannya
mendatangkan lebih banyak views dan followers adalah aksi voluntaristik. Aksi
ini terlihat sangat mulia namun bukanlah bagian dari lapisan ontologis yang
dimaksudkan oleh Løgstrup. Konten berbagi sangat tidak asimetris. Sebab, pola
pasar (untung-rugi) mendominasi eksistensi si pemberi. Dia membantu orang susah
karena ada tujuan terselubung. Dia mempergunakan kondisi kaum lemah untuk
mencari keuntungan. Dengan demikian hal semacam itu bagi Løgstrup, tidak
mencerminkan eksisntensi manusia sebagai being-for (ada bagi) yang lain.
2.2. Life As a Gift[4]
Hidup bagi orang lain yang merupakan pola dasar lapisan
ontologis hanya terjadi sejauh manusia menghayati atau memaknai hidupnya
sebagai “life as a gift” (hidup adalah anugerah). Dengan cara yang sama
manusia dapat memperlakukan sesamanya sebagaimana dirinya sendiri. Dalam arti
itu, ia memberikan sesuatu yang berharga bagi pihak lain secara asimetris tanpa
mengharapakan imbalan. Ia membagikan hidupnya bagi yang lain tanpa menuntut
kepedulian dari pihak lain atas dirinya. Ia berbuat baik bagi orang lain secara
tulus tanpa pamrih. Berbagi tanpa meminta imbalan.
Life as a gift mewajibkan sikap peduli (requirement
of care) yang bercorak spontanitas. Sikap ini berbobot asimetris (non-resiprocal).
Memberi tanpa mengharapkan imbalan. Hal semacam ini tidak menimbulkan hak,
baik bagi si penerima dan si pemberi. Si penerima menerima apa yang baik dari
si pemberi tanpa harus menuntut lebih. Sebaliknya, si pemberi memberikan apa
yang baik bagi si penerima tanpa menuntut imbalan.
Dalam konteks itu, akasi berbagi yang dipertontonkan oleh
banyak kreator khususnya Willie Salim merupakan tindakan altruistik yang belum
mencapai tataran terdalam pemaknaan eksistensi sebagai life as a gift.
Memang dia memiliki kepedulian. Akan tetapi kepedulian itu bercorak
resiprokal. Dia berbagi dengan orang susah bahkan membangun sekolah di pelosok
hanya demi konten TikTok yang pada gilirannya mendatangkan keuntungan
bagi dirinya sendiri. Itu bukan belas kasih sesungguhnya, melainkan rantai
kepentingan-kepentingan yang dililit secara mulia. Menurut Løgstrup, hal
semacam itu merupakan kepedulian normatif yang masih terikat pada ekspetasi
'perluasan hak'. Dia memberi kepada orang lain, tetapi dari sana pula ia
memperoleh hak dan keuntungan bagi dirinya sendiri. Ini dapat dikatakan sebagai
kebaikan yang bercorak investatif. Semakin banyak jumlah konten berbagi,
semakin banyak pula keuntungan finansial yang diperoleh.
3. Tanggapan Terhadap Kasus
3.1. Keluar dari Konten Berbagi Menuju Budaya Berbagi
Apa artinya kita memiliki dunia ini dengan segala macam yang
ada padanya namun kita kehilangan kasih? Pertanyaan sederhana ini menggugat
fenomena konten berbagi di TikTok yang mereduksi makna kebaikan menjadi
sekadar tontonan. Memang benar bahwa membuat konten adalah pekerjaan digital
yang mendatangkan keuntungan besar. Akan tetapi ketika kebaikan dilakukan
dengan tujuan ganda, itu bukan lagi kebajikan melainkan kepicikan. Tindakan
berbagi yang direkam, diedit, lalu lalu mengunggahnya demi popularitas bukanlah
bentuk kasih, melainkan kemunafikan.
Kebaikan sejati bukanlah pertunjukan yang digelar di hadapan
khalayak untuk mengundang tepuk tangan. Kebaikan itu seperti aliran sungai yang
mengalir tak henti. Ia bagaikan pohon yang tetap tumbuh subur di segala musim,
tanpa merasa perlu mengumumkan keberadaannya.
Dalam diam, kebaikan itu bertumbuh mekar. Hal ini selaras dengan apa
yang disampaikan oleh Yesus: “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah
diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu
itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi
akan membalasnya kepadamu”(Mat. 6:3-4).
Sebagaimana Løgstrup mendasarkan pemikirannya pada hukum
kasih, demikian pula ia menuntut budaya berbagi yang lahir dari kasih itu
sendiri. Kasih tidak mengenal motif ganda: di satu pihak bertujuan untuk
membantu mereka yang berada dalam kesulitan, di lain pihak untuk mencari
pujian. Tindakan berbagi menemukan tujuannya dalam dirinya sendiri. Manusia
berbagi bukan untuk menjadi sesuatu, tetapi karena ia telah menerima hidup
sebagai anugerah. Ia berbagi hidup karena hidupnya menjadi bukti nyata dari
berbagi itu sendiri (life as a gift).[5] Mari segera keluar dari jeruji konten berbagi
menuju kebebasan sejati yaitu budaya berbagi. Tunggu apa lagi? Sekarang kita
perlu bertindak, sebab yang akan menentukan terjadinya sesuatu di masa depan
adalah diri kita sendiri. Mau bebas atau terbelenggu?
3.2. Berlayar dalam Kualitas Eksistensial
Kehidupan adalah pelayaran eksistensial. Manusia ada karena
cinta, demikian pula ia harus bergerak dalam cinta menuju Cinta. Dia ada karena
pemberian, demikian pula keberadaannya harus menjadi pemberian menuju Sang
Pemberi. Jadi ketika seorang membantu sesamanya yang susah, secara tidak
langsung dia mengaktifkan keberadaannya sebagai makhluk pencinta dan pemberi
yang sedang bergerak menuju Cinta dan Sang Pemberi Abadi. Manusia itu dikatakan
ada karena dia mencintai dan memberi.
Kehidupan itu suatu kesungguhan (berlayar tanpa berbalik)
yang tidak diperjualbelikan atau dipertontonkan, melainkan anugerah yang terus
mengalir tanpa mengenal musim. Seperti aliran sungai yang mau berbagi hidup
dengan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya, demikian pula manusia harus
berbagi hidup dengan saudara-saudaranya sehingga ia tidak teralienasi dari peta
kehidupan.[6]
Aliran sungai disebut sebagai aliran sungai kalau ia mau
mengairi (berbagi hidup dengan) ciptaan lain. Dan sudah pasti itu adalah luapan
yang terjadi tanpa tujuan ganda atau manipulatif. Aliran itu tidak menjual atau
mempertontonkan segala kebaikannya supaya dibeli dan dipuji oleh
tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya. Sebaliknya, manusia dikatakan sebagai
manusia kalau ia mau berbagi tanpa motif terselubung. Dia berbagi karena memang
dia adalah manusia, yang dalam eksistensinya sedang berlayar menuju pelabuhan
Cinta dan Sang Pemberi Abadi.
4. Kesimpulan
Manusia dikatakan sebagai manusia kalau ia berbagi hidup
dengan sesamanya. Dia berbagi karena memang itu adalah kualitas eksistensialnya
(being-for). Kendati demikian, aktivitas berbagi akan menjadi penjara yang
mengalienasi manusia dari peta kehidupannya, bila itu hanya dibuat demi tujuan
terselubung atau manipulatif. Misalnya, seorang kreator digital berbagi demi
like, comment, share, views dan followers yang pada gilirannya mendatangkan
keuntungan finansial secara personal. Ini bukan kasih yang sejati melainkan
strategi pasar. Hal tersebut dikatakan oleh Yesus sebagai kemunafikan dan oleh
Løgstrup sebagai kasih yang bercorak resiprokal (belum tiba pada lapisan
ontologis).
Penulis: Fr. Rio Batlayeri
[1] Lih. Ahmad Fahri
Huzaini, “Tren berbagi di media tiktok dan personal social responsibility
influencer,” Jurnal Komunikasi Universitas Garut: Hasil Pemikiran dan
Penelitian 9, no. 2 (31 Oktober 2023): 228,
https://doi.org/10.52434/jk.v9i2.1889.
[2] Willie Salim, “Profil TikTok,” @williesalim, 2025.
[3] Prof. DR. Johanis
Ohoitimur, “Etika Komunikatif Løgstrup: Presentasi Kuliah Etika Terapan
Semester VIII Prodi Filsafat dan Teologi” (Pineleng, 2025), bag. 18.
[4] Lih. Ohoitimur, bag. 20–21.
[5] Manusia hidup karena Allah membagikan hidup-Nya bagi manusia (lih.
Kej. 2:7).
[6] Bdk., “hidup ada di mana ada ikatan,
persekutuan, persaudaraan; dan hidup itu lebih kuat daripada kematian bila
dibangun di atas hubungan yang benar dan ikatan kesetiaan. Sebaliknya, tidak
ada hidup di mana seseorang beranggapan hanya menjadi milik dirinya sendiri dan hidup sebagai pulau: dalam sikap seperti itu kematian
menang.” Paus
Fransiskus, Ensiklik Fratelli Tutti, trans. oleh Martin Harun (Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2021), no. 87.



No comments:
Post a Comment