Judul Buku :Menjadi Manusia Belajar Dari Aristoteles
Penulis :Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J
Penerbit :PT Kanisius
Tahun Terbit :2009
Tebal :68 Halaman
Pendahuluan
Prof. Dr. Franz
Magnis-Suseno, S.J. adalah imam Katolik Roma sekaligus aktivis moral-filsafati
berdarah Jerman yang sampai saat ini resmi menjadi warga negara Indonesia
(WNI). Setelah memperoleh gelar doktoral di Ludwig-Maximilians-Universität
München pada tahun 1973, ia menjadi dosen tetap di Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara Jakarta dan pengajar tidak tetap di Universitas Indonesia. Franz
menulis 700 karangan. Salah satu dari pelbagai karangan itu berjudul: Menjadi
Manusia Belajar Dari Aristoteles. Buku ini adalah rampaian percakapan
mengenai moralitas yang merujuk pada ajaran-ajaran Aristoteles mengenai etika.
Itulah sebabnya problematik sentral yang menjadi pijakan penjabaran dalam buku
ini ialah bagaimana manusia bisa menjadi utuh (bahagia) sesuai kemanusiaannya?
Pembahasan
Untuk mencapai kebahagiaan sejati, Franz menguraikan pandangan-pandangan Aristoteles sambil mengkorelasikannya dengan realitas manusia yaitu, mengutarakan kasus-kasus fenomenal yang terjadi dalam lingkup sosial. Hal tersebut tampak melalui sistematika yang menjadi pokok pembahasan dalam buku ini:
Bab I: Tujuan Manusia
Dalam buku Etika Nikomacheia,
Aristoteles mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh manusia akan selalu
terarah pada tujuan(sementara dan akhir). Tujuan sementara adalah tujuan yang
dicapai demi tujuan lain(yaitu makan, tidur, bersekolah, berolahraga dan sebagainya);
sedangkan tujuan akhir adalah tujuan pada dirinya yang dicari bukan demi tujuan
lain(yaitu kebahagiaan). Berkaitan dengan kebahagiaan, ada tiga hal penting
yang perlu diperhatikan: pertama, kebahagiaan selaras dengan apa yang
diyakini oleh agama yaitu surga atau nirwana; kedua, harta dan
popularitas adalah bukan kebahagiaan; ketiga, kebahagiaan bersifat
“diberi” dan bukan “direbut”.
Bab II: Mencari Nikmat
Sebanyak-banyaknya?
Menurut Aristoteles, nikmat
merupakan unsur penting dalam segala segi kehidupan termasuk dalam segi moral
asal saja tidak menjadi tujuan pada dirinya. Pandangan ini diperjelas dengan
tiga asumsi yaitu: pertama, seorang merasa nikmat ketika melakukan perbuatan-perbuatan
baik dan merasa sakit atau tidak nikmat ketika mengikuti dorongan-dorongan
rendah. Kedua, kualitas perbuatan menentukan kualitas nikmat; Ketiga, setiap
orang harus senantiasa mengejar tindakan luhur yang olehnya mendatangkan nikmat
sesungguhnya; dan jangan fokus pada nikmat sebab akan mengantar pada
kekecewaan(nikmat tidak sejati).
Bab III: Filsafat dan
Politik
Manusia akan bahagia sejauh ia membuat nyata kemampuan dan bakatnya. Berfilsafat dan berpolitik adalah ciri khas kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang. Dengan berfilsafat, manusia dapat merefleksikan eksistensi dan dunia yang mendorongnya untuk peduli, kritis, bermoral dan cerdas. Sedangkan melalui aktivitas berpolitik, setiap individu dapat membangun sikap kepedulian terhadap sesamnya (sosialistis).
Bab IV: Kebijaksanaan dan
Rasionalitas
Aristoteles mengatakan bahwa
seseorang perlu membangun dalam dirinya keutamaan supaya hidupnya
sungguh-sungguh bermakna. Ada dua jenis keutamaan yaitu: keutamaan dalam
berpikir dan bertindak. Dalam bab ini hanya dibatasi pada penjelasan mengenai
keutamaan berpikir (intelek). Keutamaan ini terdiri dua elemen utama: pertama,
kebijaksanaan atau phorenesis merupakan kebiasaan bertindak berdasarkan
pertimbangan yang tepat dalam bidang masalah baik dan buruk bagi manusia. kedua,
episteme merupakan ketajaman berpikir dalam mengamati hal-hal objektif,
pasti yang niscaya seperti hukum alam.
Bab V:Manusia Utama
Kebijaksanaan (phorenesis)
sejati selalu dibarengi dengan keutamaan etis (bertindak sepadan dengan hukum
moral). Apa yang diyakini benar, itulah yang diimplementasikan demi mencapai
kebahagiaan. Bagi Aristoteles, orang-orang yang berlaku etis disebut sebagai
“Manusia utama” (orang yang kuat batinnya, tidak mudah goyah, mantap, tidak resah, dan dapat diandalkan).
Bab VI: Persahabatan
Kebahagiaan sejati selalu terarah
pada kebaikan bersama. Aristoteles menandaskan bahwa “persahabatan sejati bukan
terletak pada kebahagiaan diri sendiri melainkan kebahagiaan sahabatlah yang
membuat manusia itu bahagia.” Olehnya itu ia mengategorisasikan tiga jenis
persahabatan: Persahabatan atas dasar saling menguntungkan, atas dasar saling
menikmati dan atas dasar saling mencintai.
Bab VII: Hidup yang
Bermutu
Hidup bermoral membawa manusia
pada kebahagiaan sejati. Kebahagiaan ini baru tercapai ketika manusia mulai
mengembangkan diri dengan cara berfilsafat dan berpolitik. Proses pengembangan
ini haruslah bijaksana dan etis. Sebab manusia hidup bersama dengan sesamanya
dan karenanya perbuatan yang etis itu akan selalu terarah pada kesejahteraan
atau kebaikan komunal. Dengan demikian, hidup secara bermoral menjadi landasan
untuk membangun keutuhan hidup (bermutu) sebagai manusia. Perlu diketahui
bahwa, bab delapan ini adalah ringkasan pokok-pokok pembahasan dari bab-bab
sebelumnya.
Penutup
Setelah meriset keseluruhan
kapasitas dari buku ini ternyata di dalamnya terdapat khazanah intelektual
filosofis-moralitas. Sungguh menakjubkan bahwasanya penulis berusaha memberi
ulasan secara kontekstual demi menjawab kerinduan manusia akan kebahagiaan;
sekaligus bentuk kritikan filosofis terhadap pola kehidupan yang dianggap
masyarakat sebagai yang memberi kenikmatan. Kosakata yang digunakan amat
sederhana dan mudah dipahami oleh siapa saja khususnya yang belum pernah
mempelajari filsafat. Kendati demikian, buku ini menyajikan pemikiran-pemikiran
Aristoteles secara tidak komprehensif. Misalnya pada bab lima penulis mencetus
tema mengenai Filsafat dan Politik. Seharusnya penulis memberikan penjelasan
lebih detail mengenai ajaran Aristoteles tentang dua tema tersebut, supaya
pembaca (yang belum mempelajari filsafat) dapat memperoleh informasi dan
mengimplementasikannya sebagaimana diharapkan seturut tema dari judul buku ini.
Akhirnya, patutlah diberikan penghargaan besar bagi karya yang telah dikerjakan
oleh penulis ini. Sebab tak mungkin adanya paradigma baru tentang pengembangan
diri secara etis kalau penulis sendiri tidak mengekspresikannya. ***
Penulis: Fr. Rio Batlayeri
file word......https://docs.google.com/document/d/1toSdXRkwJ3ko5UNjohrJEMNgrqvsWz8_/edit?usp=sharing&ouid=109822336312804706104&rtpof=true&sd=true
No comments:
Post a Comment