“Suara Mahasiswa”





     “Sebagus apa pun bunga di taman, tetapi tanahnya tandus maka pastinya akan mati.” Ungkapan ini menggambarkan bahwa betapa pentingnya sebuah sumber. Kerap orang mengatakan seperti ini: “kalau buat karya tulis ilmiah harus menggunakan sumber yang jelas”; “Tuhan adalah sumber kekuatanku”; “air mengalir dari sumbernya”; “sayur-sayuran dan daging adalah sumber protein bagi tubuh”. Tampak bahwa segala sesuatu berasal dari sumbernya.

Guru atau dosen menjadi sumber yang mentransferkan ilmu dan tata moral kepada pelajar atau mahasiswa. Mereka telah berproses dalam dunia akademik, dan karenanya diberi tanggung jawab untuk mencerdaskan generasi bangsa. Taraf kecerdasan dalam dunia akademik yang perlu diusahakan dan dikembangkan ialah IQ (kecerdasan intelektual); EQ (kecerdasan emosional); SQ (kecerdasan spiritual); dan satu hal yang ditambahkan di sini ialah sQ (ketrampilan). Jadi secara umum ada dua tataran yang tidak dapat dipisahkan yaitu teori dan praktek.

Kampus merdeka menjadi proyek dan sistem terbaru yang digagas oleh menteri pendidikan Indonesia. Kendati demikian, apakah mahasiswa saat ini sudah menjadi merdeka?  Apa yang dimaksudkan dengan kemerdekaan itu? Rupanya pertanyaan tersebut menjadi pergumulan mahasiswa pada umunya. Sebab dengan beragamnya formalitas yang diterapkan, para pelajar makin terkekang, terkungkung, dan jauh dari kemerdekaan itu sendiri. Misalnya, beragam mata kuliah yang dicanangkan di kampus; muatan materi yang dipaparkan mengandung kerumitan dan tak pernah disederhanakan;[1] atau dosen mengajar bukan untuk meningkatkan kualitas tetapi hanya mengejar target seturut formalitas yang ada. Akibatnya mahasiswa menjadi malas, mengantuk saat mengikuti kuliah, tidak menyerap apa yang diajarkan, bermain game online, telponan, chattingan  bahkan bolos.  Inikah yang dinamakan merdeka? No! Sebab karakter anak bangsa tidak pernah berubah. Buktinya masih banyak tawuran antar pelajar, balap liar, pelecehan, pembunuhan, pencurian bahkan menjadi pelaku konsumen miras atau narkoba.

Selanjutnya, di media sosial dan TV kita dapat menyaksikan tragedi mahasiswa yang malang. Misalnya, sering kali mereka melakukan demo di mana-mana tapi yang diperjuangkan bukanlah kebenaran melainkan menambah satu kehancuran dan penderitaan dari banyaknya persoalan bangsa Indonesia yang belum diselesaikan hingga saat ini.[2] Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Karena sistem pendidikan yang kurang memadai di kampus, sehingga tingkat kognitif mereka menjadi minim dan tidak kritis terhadap arus zaman. Mereka seperti bendera yang ditiup angin kian kemari dan tidak kokoh seperti tiang bendera. Maksudnya bahwa, mereka asal berbicara tanpa memperhatikan fakta. Bertindak tanpa pemahaman dan demo berdasarkan pengaruh dari pihak lain.

Olehnya itu, guru dan dosen haruslah menjadi pendidik yang tidak hanya mengajar asal mengajar. Jangan melulu mengejar target tanpa memperhatikan kualitas. Sebab kamu adalah sumber yang memberi pengetahuan(teori dan praktek; ilmu dan tata moral) kepada pendidik. Jika sumber itu subur maka tumbuh dan berkembanglah pohon-pohon atau bunga yang indah dan rindang. ***

Frater. Rio Batlayeri

[1] Senada dengan itu Presiden Jokowi pernah menandaskan bahwa: "Permudahlah dan jangan dipersulit. Kita sekarang ini yang mudah dipersulit. Harusnya yang sulit dipermudah. Jangan dibolak balik. "Bdk. Liputan6.com, “Jokowi: Harusnya yang Sulit Dipermudah, Jangan-Dibolak-balik,”liputan6.com, December/25/2016,  Diakses, 10 Februari 2023.

[2] Fr. Rio Batlayeri, “Modalitas Pertobatan: Jujur, Disiplin Dan Terbuka Untuk Menerima Sesama. Renungan Hari Selasa, 12 Juli 2022,” Modalitas Pertobatan (blog), https:// veritashumanis.blogspot.com/2022/07/modalitas-pertobatan-jujur-disiplin-dan.html. Diakses, 10 Februari 2023

No comments:

Post a Comment