Riview Buku Pengabaian Metafisika dan Implikasinya yang Ditulis Oleh Prof. DR. Johanis Ohoitimur



Frater Rio Batlayeri 


Metafisika (metaphysics) adalah cabang filsafat yang bagi Aristoteles disebut “filsafat pertama” atau “ontologi” sebagaimana diperkenalkan Goclenius, tetapi dapat pula diartikan sebagai “philosphy of being”(filsafat mengenai mengada). Sejak tahun 40 sM Andronikos dari Rhodos menerbitkan karya-karya Aristoteles yang di dalamnya termuat istilah metafisika. Seturut sistematikanya, karya tentang filsafat pertama ditempatkan sesudah(meta) uraian mengenai hal-hal fisik(physika). Itulah sebabnya secara hakikat metafisika diartikan sebagai ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip pertama yang fundamental sebagai satu keseluruhan. Fokus utama yang sering dipertanyakan oleh ilmu supranatural ini ialah  “pengada”(being, ens, seinde) dan mengada (esse, to be, Sein), substansi serta kausalitas.

Tataran metafisika begitu abstrak sehingga pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terjadi gerakan penolakan atasnya. Hal tersebut ditandai dengan munculnya paham empirisme, positivisme, materialisme dan neopositivisme.  Materialisme menganggap bahwa dunia adalah realitas yang sifatnya material(benda) dan bukan mengandung dimensi spiritual atau mental. Misalnya Allah, roh, malaikat, hantu, jin dan setan dianggap tidak ada karena bersifat non material. Selain itu ada pula penyangkalan terhadap nilai-nilai karena dianggap bercorak subjektif. Artinya nilai itu ada sejauh melekat pada pribadi(benda) tertentu. Sebagai contoh Karl Max berasumsi bahwa angka produksi (material) adalah faktor yang bersumber dari relasi manusia dengan alam.

Positivisme merupakan paham filosofis empirisme yang beranggapan bahwa pengetahuan dapat dikatakan ilmiah sejauh memuat fakta, data-data riil atau objektif. Atas dasar itu Aguste Comte menganggap Sosiologi sebagai ilmu tertinggi yang melampaui mitos, teologi dan filsafat. Dengan jalan pikiran yang sama pula, John Stuart Mill mengasumsikan bahwa jika pengalaman, fakta dan data riil adalah elemen utama dari pengetahuan maka metode induksi mutlak diterapkan. Corak berpikir Mill ini terarah pada utilitas di mana segala tindakan harus mengandung manfaat tertentu. Selanjutnya, paham positivisme juga didiskusikan oleh kelompok intelektual atau lazimnya disebut “lingkungan Wina.” Mereka memberikan penegasan bahwa hanya proposisi-proposisi yang dibenarkan secara empirislah yang memuat bobot ilmiah sejati. Pandangan inilah yang digolongkan sebagai neopositivisme dan positivisme logis.

Ada dua filsuf yang pada masa itu memberikan argumentasinya untuk menentang penolakan terhadap metafisika. Pertama, Alfred North Whitehead menerangkan bahwa metafisika bukan memberikan penjelasan terhadap realitas melainkan membantu manusia untuk menginterpretasikan atau memahami pelbagai pengalamannya tentang realitas. Hal tersebut lebih diperjelas dengan sebuah metode praktis yaitu pesawat terbang. Menurutnya, pesawat itu dari landasan pacu(pengalaman konkret), mengudara tinggi di awan(abstraksi) dan kembali mendarat lagi di landasan pendaratan(merekonstruksi pengalaman berdasarkan konsep-konsep abstraksi). Intinya ialah metafisika bermula dari pengalaman riil; kemudian dikonseptualisasikan melalui daya intelek; dan diterapkan dalam pengalaman baru yang lebih bermakna. 

Kedua, Martin Heidegger memberikan argumen metafisik melalui penelusurannya terhadap keberadaan manusia yang berlandaskan pada dua perspektif, yaitu: “das man” adalah kolektivitas di mana tiap individu kehilangan kesejatian personanya; sedangkan “Dasein” adalah kompleksitas eksistensi manusia. Maksudnya bahwa sejak semula manusia dilemparkan ke dalam dunia dan karenanya ia berada di sana. Fakta eksistensial ini menunjuk struktur paling mendasar dari “Dasein” ialah berada-dalam-dunia(being-in-the-world, in-der-welt-sein) karenanya manusia bersatu “dengan-dunia”(mitwelt, with world) yang di dalamnya terjalin relasi sosial(being with others) dan hubungannya pula dengan lingkungan hidup(environment).  Atas dasar pandangannya mengenai “Dasein” maka lahirlah dua argumen dasar yakni (a) Manusia selalu berhadapan dengan dunia sehingga tak ada hal lain lagi selain mempertanyakan eksistensinya dan mencari kebenaran serta memberikan makna terhadap atasnya; (b)  Hedegger menyatakan bahwa ilmu pengetahuan, teknologi, karya seni dan agama dalam konteks metafisika adalah instrumen yang membantu manusia untuk mengenal eksistensinya dan memberi bagi kehidupan dalam-dunia dan dengan-dunia.

Selanjutnya, apa manfaat metafisika dalam kehidupan manusia? Tentang hal ini St. Thomas Aquinas mengajak untuk menelusuri secara intensif (“duc in altum”) realitas dengan menggunakan kemampuan intelek. Aktivitas penelusuran inilah yang membawa manusia kepada tingkatan peradaban yang lebih tinggi. Sebab dengan metafisika seseorang akan mencari makna kehidupan dari setiap pengalamannya; kemudian merumuskan orientasi peradaban demi perkembangan hidupnya. Misalnya, dari kegiatan abstraksi orang akan menemukan nilai-nilai kebaikan sebagai bentuk kritik atas perbuatan atau paham yang keliru seperti hedonisme, materialisme, konsumerisme dan sebagainya.

Dari semua penjabaran mengenai metafisika ada satu hal yang sangat berkesan yaitu implikasi dari metafisika menurut Alfred North Whitehead pada halaman 12 yang menyatakan bahwa “metafisika menjadi faktor esensial pembentukan pola-pola hidup. Semakin tinggi tingkat rasionalisasi imajinatif semakin tinggi pula derajat peradaban.” Argumen ini sangat relevan bagi kehidupan dewasa ini bahwasanya ranah filosofi justru menghadirkan konsep-konsep aktual yang kritis tentang pemaknaan terhadap realitas. Misalnya dalam aktivitasnya manusia selalu bersentuhan dengan teknologi. Tanpa disadari ternyata manusia sudah dikuasai oleh alat yang canggih itu. Contohnya saat ini marak terjadi penyebaran berita hoax, pornografi, promosi dan penjualan produk ilegal dan sejenisnya. Semuanya itu menunjukkan adanya kehancuran martabat yaitu manusia masih jauh dari tataran peradaban. Di sinilah metafisika hadir untuk merefleksikan pengalaman tersebut dan memberikan orientasi yang benar.

Pada prinsipnya metafisika bermanfaat bagi siapa saja untuk merefleksikan pengalaman konkretnya demi mendapatkan pola-pola perilaku yang sepadan dengan hukum moral. Misalnya hubungan dengan Tuhan, sesama dan alam sekitar. Ketiga relasi tersebut pastinya dapat dikatakan baik sejauh dilaksanakan seturut pemahaman intelek dan kehendak. Karena itu perlu adanya refleksi imajinatif atas pengalaman sebelumnya. Contohnya, si A membantu atau menolong sesama(sahabat); selalu mengikuti misa setiap hari; dan rajin membersihkan halaman(labor). Namun muncul pertanyaan metafisik, apakah tiga jenis tindakan tersebut dilakukan karena pada dirinya timbul perbuatan baik? Ataukah, hanya untuk memenuhi aturan dan mencari pujian semata? Semunya ini menuntun saya untuk tiba pada konsep kebaikan sejati. Konsep inilah yang kemudian menjadi bingkai aktualisasi atas tindakan selanjutnya.***

 


No comments:

Post a Comment