“Makna Penderitaan: Belajar Dari Ayub”


     

   Dugaan primer bila mana manusia berhadapan dengan penderitaan ialah dosa. Hukum sebab akibat tertancap rapat dalam nalar manusia dewasa ini menciptakan ketegangan. Ketika sakit, kecelakaan, mengalami kebangkrutan, hasil panen yang tidak memuaskan dan sulit meraih kesuksesan dalam bidang tertentu membuat manusia cepat menyalahkan dirinya sendiri. Ia mulai mencari-cari kesalahan dirinya yang menghambat pencapaian maksimumnya. Hal ini di satu sisi baik karena lewat musibah atau penderitaan, manusia menyadari diri dan mau bertobat. Tetapi di lain pihak, cara anggap ini tidak dapat menerobos teka-teki kesengsaraan yang tak dapat disangkal dalam kehidupan manusia. Entah manusia jahat atau baik sewaktu-waktu akan mengalami penderitaan. Lantas muncul pertanyaan, apakah penderitaan hanya untuk orang jahat saja? Apakah kebahagiaan itu milik orang benar saja? Di sinilah letak keadilan Allah diperdebatkan.

   Karakteristik saleh dan sabar dari Ayub dapat membantu untuk memahami konteks penderitaan ini. Meskipun ia saleh tetapi penderitaan menyelimuti dirinya (Lih. Ayb. 3-4). Itu berarti kebahagiaan tidak selalu paten bagi orang benar. Orang baik dan jahat akan selalu berada pada fase kritis dalam hidup. Karena itu, rumusan sederhana yang mendasari perdebatan ini ialah “bagi orang jahat, penderitaan adalah pelajaran; bagi orang baik, penderitaan adalah ujian kemapanan atas kebaikannya.” Dengan rumusan itu ada dua perspektif yang dihasilkan yaitu hukum sebab akibat dan penderitaan orang benar dikoneksikan. Artinya kesengsaraan sebagai buah dari dosa masa lalu dan kesengsaraan yang menguji keteguhan iman, sama-sama mendapat tempatnya dalam kehidupan manusia. Tinggal bagaimana manusia menggunakan salah satu dari dua perspektif ini dalam memaknai penderitaannya.

   Narasi Kitab Ayub, menunjukkan bahwa Ayub memaknai penderitaannya dalam perspektif sebagai manusia benar yang teruji imannya. Ia tidak berdosa tetapi ditimpa kemalangan. Ia jujur dan saleh tetapi mengalami penderitaan. Walaupun perspektif ini sempat diguncang oleh perkataan para sahabatnya. Namun, ia tetap mempertahankan prinsipnya sebagai orang benar. Dia tidak bisa mengucapkan sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Atau dia tidak bisa mengakui dosa karena dia yakin sungguh bahwa tak ada pelanggaran yang dilakukannya. Meski hal ini tampak arogan dan mengandung bobot kesombongan, tetapi itulah pengakuan yang jujur di hadapan Allah. Olehnya itu, bilamana ada orang beriman di zaman modern ini mengalami penderitaan yang sama sekali bertolak belakang dengan kesalehan hidupnya, maka saat itu ia harus sadar bahwa kesalehan, kebaikan dan imannya sedang diuji. “Semakin beriman seseorang, semakin besar pula penderitaannya.” Tetapi yang pasti ialah, Allah tak pernah membiarkan orang benar kehilangan ‘harta miliknya’. Ia akan mengembalikan harta yang hilang kepada mereka yang tekun berharap pada-Nya meski berada dalam penderitaan.***

(Fr. Rio Batlayeri)


No comments:

Post a Comment