Kesepakatan adalah unsur konstitutif dengan mana seorang pria dan wanita bebas menyatakan diri bersatu melalui perkawinan. Sederhananya, kesepakatan itu sebagai perbuatan kehendak (actus humanus) antara dua orang yang berbeda jenis kelamin. Hal ini mengandaikan bahwa kedua pasangan tersebut mampu secara yuridis (habilitas iuridica) dalam memanifestasikan kesepakatan secara legitim (Legitima manifestasio). Kemampuan yuridis mencakup kapasitas intelek, kehendak, biologis dan psikologis. Artinya seorang yang hendak menikah sekurang-kurangnya memiliki kemampuan intelek yang memadai, tidak dalam cacat berat, tidak dalam tekanan atau mengalami gangguan psikis. Kriteria dasar ini memungkinkan (1) setiap pasangan bertanggung jawab atas tindakannya, (2) bebas menjatuhkan pilihan, serta (3) mampu menunaikan hak dan kewajiban perkawinan yang merupakan efek langsung dari kesepakatan tersebut. Jika beberapa elemen kesepakatan yang tersebutkan tidak ada dalam diri seorang pasangan, maka perkawinan tidak dapat terjadi, sebagaimana yang ditandaskan dalam Kan 1095: Tidak mampu melangsungkan perkawinan:
10 yang kurang dalam penggunaan akal-budi yang memadai;
20 yang menderita cacat berat (gravis defectus) dalam penilaian diskresi (desretionis iudicium) mengenai hak-hak serta kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan yang harus diserahkan dan diterima secara timbal-balik;
30 yang karena alasan-alasan psikis (natura psychica) tidak mampu mengemban kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan.
Manusia (pria dan wanita dewasa) merupakan subyek primer dari sebuah kontrak perkawinan. Mereka tidak dapat diwakilkan oleh orang lain dalam membuat kesepakatan. Aspek timbal-balik atau saling memberi dan menerima menjiwai kesepakatan tersebut yang terungkap secara legitim. Kontrak perkawinan bersifat tetap, mengikat dan berlangsung seumur hidup serta terarah pada kelahiran anak, dengan suatu kerja sama seksual (Lih. Kan. 1096 §1). Kedua mempelai menjadi penentu sah atau tidaknya sebuah perkawinan. Olehnya itu kehadiran keduanya, mengandaikan bahwa mereka sudah sungguh-sungguh memiliki pemahaman memadai tentang hakikat dan makna sebuah perkawinan. Intinya perkawinan terjadi sejauh keduanya mengikrarkan kesepakatan untuk bersatu (unitas) dan tidak ada perceraian yang membatalkan persatuan itu (indissolubilitas). Dengan demikian, unsur pembangun satu-satunya dari perkawinan sebagai perjanjian interpersonal ialah kesepakatan kedua pribadi (seorang laki-laki dan seorang perempuan) yang konkret, riil dan unik (Raharso, 2008, hlm. 18).
Kesepakatan dari kedua mempelai yang dinyatakan mampu secara yuridis, dapat dianggap tidak sah, bila terdapat hal-hal yang oleh hukum dinyatakan sebagai halangan (impedimentum) bagi terciptanya perkawinan. Suatu perkawinan dapat menjadi tidak sah karena adanya halangan tertentu terhadap perkawinan yang sah (Spiteri, 2013, Bab 12). Dalam konteks ini, bila terjadi kecacatan kesepakatan maka perkawinan dianggap tidak sah. Hal ini diatur secara eksplisit dalam Kan. 1096-1103:
Ketidaktahuan akan makna perkawinan: terjadi ketika salah satu atau kedua mempelai tidak memahami bahwa perkawinan adalah persatuan seumur hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang ditujukan untuk kesejahteraan pasangan serta prokreasi dan pendidikan anak-anak.
Kekeliruan: terjadi ketika salah satu pihak memiliki pemahaman yang salah mengenai identitas atau sifat penting dari pihak lainnya, atau bahkan sifat dari perkawinan itu sendiri. Misalnya, seorang pria mungkin setuju untuk menikah dengan seorang wanita yang menyatakan dirinya tidak memiliki anak dari hubungan sebelumnya, padahal kenyataannya, ia memiliki anak yang tidak pernah diungkapkan kepada calon suaminya; atau ada salah satu pihak berpikir bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian sementara yang bisa dibatalkan. Padahal dalam pandangan Gereja Katolik yang perkawinan itu adalah persatuan seumur hidup.
Penipuan: terjadi ketika salah satu pihak sengaja menipu pihak lainnya mengenai kualitas atau keadaan yang penting untuk kesepakatan. Misalnya, menutupi ketidakmampuan fisik untuk memiliki anak atau sejarah kriminal yang signifikan dapat menjadi dasar untuk pembatalan perkawinan jika terbukti bahwa pihak yang ditipu tidak akan setuju untuk menikah jika mengetahui kebenaran. Hal ini menegaskan pentingnya transparansi dan kejujuran dalam proses persiapan pernikahan agar kesepakatan yang dibuat benar-benar mencerminkan keinginan bebas dan sadar dari kedua mempelai.
Paksaan dan ketakutan: mengacu pada situasi di mana salah satu atau kedua pihak setuju untuk menikah karena adanya tekanan eksternal yang berat atau ancaman yang memengaruhi kebebasan mereka untuk membuat keputusan. Dalam kasus seperti ini, kesepakatan yang dihasilkan tidak mencerminkan kebebasan sejati yang dipersyaratkan oleh hukum kanonik.
Simulasi: terjadi ketika salah satu atau kedua pihak hanya berpura-pura setuju dengan elemen-elemen esensial dari perkawinan, seperti kesetiaan atau keterbukaan terhadap kelahiran anak, tanpa niat yang sebenarnya. Tindakan ini dapat menyebabkan ketidakabsahan perkawinan karena persetujuan yang diberikan tidaklah tulus dan tidak mencerminkan komitmen sejati yang diharapkan dalam ikatan perkawinan. Misalnya, seorang pria setuju untuk menikah tetapi dalam hatinya berencana untuk tetap menjalani hubungan di luar nikah. Kasus lain adalah seorang wanita yang setuju menikah namun diam-diam memutuskan untuk tidak pernah memiliki anak, padahal ia menyatakan sebaliknya selama persiapan pernikahan. Selain itu, seseorang bisa berpura-pura setuju untuk menjalani pernikahan seumur hidup padahal berniat untuk menceraikan pasangannya di masa depan setelah mencapai tujuan tertentu, seperti mendapatkan kewarganegaraan atau harta.
Eskalasi: merujuk pada pengubahan makna kesepakatan setelah perjanjian awal, yang dapat merusak integritas kesepakatan itu sendiri. Ketika makna atau syarat-syarat dari kesepakatan ini berubah secara signifikan setelah pernikahan berlangsung, hal ini dapat mengindikasikan bahwa kesepakatan awal tidak sepenuhnya dipahami atau disepakati. Misalnya, kedua pasangan setuju untuk tidak memiliki anak pada saat pernikahan, namun salah satu pihak kemudian berubah pikiran dan menginginkan anak, sementara pihak lainnya tetap pada kesepakatan awal; atau salah satu pihak setuju untuk berbagi semua aset, namun setelah pernikahan, pihak tersebut memutuskan untuk memisahkan keuangan secara sepihak.
Selanjutnya, bobot konstitutif sebuah kesepakatan dari dua subjek yang melakukan tindakan kehendak perlu dimanifestasikan secara legitim melalui tata peneguhan kanonik. Artinya perkawinan harus diteguhkan dengan suatu forma publik yang khusus (Raharso, 2006, hlm. 117). Kesepakatan kedua mempelai yang terucap secara eksternal diteguhkan oleh ordinaris wilayah, pastor paroki, imam lain dan diakon yang diberi delegasi yang dihadiri dua orang saksi. Pihak subjek, pihak yang meneguhkan dan pihak yang menjadi saksi adalah tiga komponen yang memvalidasikan kesepakatan yang dengannya kontrak perkawinan terwujud dan tak dapat ditarik kembali. Sebaliknya, bila kesepakatan dibuat di luar tata peneguhan (tidak hadir semau atau salah satu dari komponen tersebut) maka perkawinan dianggap tidak ada.
Unsur konstitutif perkawinan yang tampak dalam kesepakatan (consensus matrimonum) memiliki karakteristik konstruktif. Pelbagai karakteristik ini mengarah pada terbentuknya kontrak perkawinan. Otentisitas subjektif dari mereka yang bersepakat menjadi karakter primer yang menjamin beberapa karakter selanjutnya secara mutualistik. Misalnya, penyelarasan lapisan kehendak intrinsik dan eksternal. Isi hati dan ucapan harus bertalian dengan otonomi subyek. Kontra antar keduanya melecetkan kesepakatan itu sendiri. Sebab aspek legal tidak efektif bilamana kata memanipulasi isi hati.
Sebagai unsur konstitutif perkawinan yang mengikat, kesepakatan memiliki beberapa karakter sebagai berikut – (Raharso, 2006, hlm. 119–126):
Personal
Dua mempelai yang bersepakat membentuk kontrak perkawinan adalah pribadi yang bebas dan otonom. Keduanya sepakat untuk saling memberikan diri secara timbal-balik dan membentuk persatuan yang berlangsung seumur hidup. Kesepakatan ini bercorak personalistik karena melibatkan dua pribadi yang independen dan bebas, yang secara sadar dan sukarela memilih untuk mengikatkan diri dalam suatu komitmen perkawinan. Tanpa partisipasi langsung dan persetujuan dari kedua individu tersebut, kontrak perkawinan tidak dapat diadakan, menunjukkan bahwa inti dari perjanjian ini adalah kesepakatan personal yang tulus dari kedua belah pihak. Perkawinan dalam konteks ini bukan hanya sebuah transaksi legal, tetapi juga perwujudan dari hubungan personal yang kompleks dan mendalam antara dua individu yang bersepakat untuk hidup bersama sebagai satu kesatuan.
Karakteristik personal dalam kontrak perkawinan antara suami istri menjadi dasar di mana hukum dinyatakan. Pria dan wanita yang terlibat dalam perjanjian ini berkomitmen untuk saling mendukung, memahami, dan menyatu dalam segala aspek kehidupan mereka. Kesepakatan ini melibatkan seluruh keberadaan mereka sebagai pribadi, mencakup aspek emosional, spiritual, dan fisik. Dalam hukum kanonik, kesepakatan ini dipandang sebagai dasar dari perkawinan yang sah dan bermakna, di mana setiap pribadi dihargai dan diakui sebagai individu yang otonom. Kesepakatan tersebut menciptakan hubungan yang saling melengkapi, di mana kedua pihak berperan sebagai mitra yang setara dalam perjalanan hidup bersama. Personalistiknya kontrak perkawinan ini mencerminkan penghargaan terhadap martabat dan kebebasan individu, yang merupakan fondasi dari ikatan perkawinan yang kokoh dan harmonis.
Internal
Kesepakatan dalam kontrak perkawinan haruslah dilandasi oleh kehendak batiniah yang sejalan dengan pernyataan eksternal. Dalam hukum kanonik, integritas dan keselarasan antara kehendak batiniah dan pernyataan yang diucapkan sangatlah penting. Seorang individu yang membuat kesepakatan perkawinan diharapkan melakukannya dengan ketulusan hati, tanpa adanya niat tersembunyi atau manipulasi. Hal ini berarti bahwa apa yang diucapkan secara eksternal harus benar-benar mencerminkan apa yang diyakini dan diinginkan dalam hati. Ketika seorang subyek menyatakan kesepakatan perkawinan tetapi dalam hatinya merencanakan sesuatu yang bertentangan dengan kesepakatan tersebut, tindakan itu disebut sebagai niat terselubung atau “simulasi”. Menurut Kanon 1101 §1, kesepakatan batin dalam hati diandaikan sesuai dengan kata-kata atau tanda-tanda yang dinyatakan dalam merayakan perkawinan. Ini sesuai dengan regula hukum yang berbunyi, In conventianibus contrahentium voluntatem potius quam verba spectari placuit [“Dalam sebuah perjanjian, orang harus lebih memperhatikan kehendak pelaku daripada kata-katanya”]. Ini menegaskan bahwa ada asumsi legal bahwa pernyataan eksternal yang dibuat dalam upacara perkawinan mencerminkan kehendak batin yang sebenarnya.
Kehendak batiniah yang tulus merupakan fondasi esensial bagi sahnya kontrak perkawinan dalam hukum kanonik. Ketidaksesuaian antara kehendak batin dan pernyataan yang diucapkan dapat menjadi dasar bagi pembatalan perkawinan, karena hal tersebut menunjukkan adanya cacat dalam kesepakatan fundamental yang diperlukan untuk membentuk ikatan perkawinan yang sah. Jika salah satu pihak menyatakan kesepakatan dengan niat yang tidak jujur atau dengan maksud untuk menipu, maka perjanjian tersebut kehilangan validitasnya. Ini karena hukum kanonik mengutamakan kejujuran dan integritas dalam setiap kesepakatan perkawinan, memastikan bahwa ikatan yang terbentuk benar-benar mencerminkan komitmen penuh dan tulus dari kedua belah pihak. Oleh karena itu, proses penilaian kehendak batiniah dalam konteks perkawinan sangatlah penting, karena membantu memastikan bahwa ikatan yang terbentuk adalah hasil dari kesepakatan yang sejati dan bukan hasil dari manipulasi atau niat terselubung. Dengan demikian, hukum kanonik menjaga kesakralan dan keutuhan institusi perkawinan melalui penekanan pada keselarasan antara kehendak batiniah dan pernyataan eksternal.
Dinyatakan secara eksternal
Kehendak batin yang benar dalam suatu perkawinan haruslah diungkapkan secara jelas dan eksplisit agar perkawinan tersebut sah menurut hukum kanonik. Pernyataan kesepakatan ini bisa dilakukan melalui ucapan, atau dalam kasus-kasus khusus, seperti pasangan tuna rungu wicara, melalui bahasa isyarat atau tulisan sebagaimana diatur dalam Kanon 1104 §2. Hal ini menunjukkan bahwa hukum kanonik memberikan fleksibilitas dalam bentuk komunikasi yang digunakan, namun tetap menekankan pentingnya ekspresi eksternal dari kesepakatan tersebut. Tanpa adanya pernyataan yang jelas dari masing-masing pasangan, ikatan perkawinan tidak dapat dianggap sah. Dengan kata lain, meskipun kehendak batin dari kedua mempelai mungkin benar dan tulus, ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk mengungkapkan kesepakatan tersebut secara eksternal akan menghalangi terbentuknya perkawinan yang sah.
Diamnya salah satu mempelai saat prosesi pengikraran janji nikah tidak dapat dianggap sebagai bentuk persetujuan. Prinsip bahwa “diam berarti setuju” tidak berlaku dalam konteks perkawinan menurut hukum kanonik. Dalam situasi ini, aspek eksternal dari tindakan seseorang sangat krusial karena melalui tindakan eksternal inilah hukum diberlakukan. Oleh karena itu, kesepakatan nikah harus diucapkan dengan jelas agar dianggap sah. Keabsahan perkawinan sangat bergantung pada komunikasi yang eksplisit dari kehendak masing-masing mempelai. Tanpa pernyataan yang jelas dan tegas, baik melalui ucapan, isyarat, maupun tulisan, tidak ada dasar hukum yang kuat untuk menyatakan bahwa kesepakatan telah terjadi. Ini menekankan pentingnya transparansi dan kejelasan dalam setiap proses hukum, termasuk dalam pembentukan ikatan perkawinan, di mana persetujuan yang nyata dan terbuka adalah syarat mutlak. Aspek eksternal dalam pernyataan kesepakatan ini tidak hanya berfungsi sebagai bukti persetujuan, tetapi juga sebagai perlindungan bagi keabsahan dan kesucian institusi perkawinan itu sendiri.
Bebas
Perkawinan dalam hukum kanonik hanya dapat terjadi apabila kedua mempelai mengucapkan kesepakatan secara bebas dan tanpa paksaan. Kebebasan dalam mengucapkan kesepakatan ini merupakan esensi dari tindakan kehendak yang sah dan valid. Dalam Kanon 1103, ditegaskan bahwa kesepakatan yang diberikan di bawah paksaan atau ketakutan berat dianggap tidak sah. Hal ini mencerminkan prinsip bahwa perkawinan harus didasarkan pada persetujuan yang murni dan tanpa tekanan dari pihak mana pun. Demikian pula, Kanon 1089 menegaskan bahwa perkawinan yang terjadi karena penculikan dan penahanan tidak dapat dianggap sah, karena kebebasan untuk memilih tidak ada dalam kondisi semacam itu. Dalam kedua kanon ini, hukum kanonik menekankan bahwa tindakan kehendak dalam konteks perkawinan haruslah hasil dari keputusan bebas yang diambil tanpa adanya intimidasi atau ancaman.
Implikasi dari ketentuan ini sangatlah jelas: setiap bentuk paksaan atau tekanan yang memengaruhi kebebasan kehendak mempelai akan membatalkan kesepakatan perkawinan tersebut. Hukum kanonik dengan tegas melindungi hak individu untuk menikah berdasarkan kehendak bebas mereka, menegakkan bahwa kesepakatan yang dipaksakan tidak memiliki validitas hukum. Prinsip ini tidak hanya menjaga integritas institusi perkawinan, tetapi juga melindungi martabat dan kebebasan individu yang akan menikah. Dalam kasus di mana terdapat bukti bahwa kesepakatan perkawinan diberikan di bawah paksaan atau ketakutan berat, Gereja memiliki kewenangan untuk membatalkan perkawinan tersebut, mengakui bahwa persetujuan yang diberikan bukanlah hasil dari kehendak yang bebas. Dengan demikian, kebebasan dalam mengucapkan kesepakatan adalah elemen fundamental yang tidak dapat diabaikan dalam hukum perkawinan kanonik, memastikan bahwa setiap perkawinan yang diakui oleh Gereja adalah hasil dari persetujuan yang benar-benar bebas dan tulus dari kedua mempelai.
Dipertimbangkan (deliberated)
Kontrak perkawinan bukan sebagai hasil putusan yang tergesa-gesa. Itulah sebabnya mereka yang hendak melangsungkan perkawinan, terlebih dahulu dibimbing oleh pihak Gereja yang diberi didelegasikan untuk itu. Proses ini bertujuan untuk memastikan bahwa kedua mempelai memiliki pemahaman yang mendalam tentang makna dan konsekuensi dari ikatan perkawinan. Melalui bimbingan ini, mempelai diterangi oleh akal budi dan hati nurani mereka, sehingga mereka mampu menimbang, menilai, dan akhirnya memutuskan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab untuk membentuk kontrak perkawinan. Bimbingan tersebut tidak hanya berfokus pada aspek legal dan formalitas, tetapi juga menekankan pentingnya persiapan mental, emosional, dan spiritual yang memadai.
Pentingnya proses ini terletak pada perlunya kedua mempelai menyadari konsekuensi jangka panjang dari komitmen perkawinan. Mereka diajak untuk memahami bahwa perkawinan adalah ikatan yang bersifat kontinuitas, yang menuntut kesetiaan, pengorbanan, dan tanggung jawab bersama sepanjang hidup mereka (Bdk. Kan. 1095 20). Dengan demikian, Gereja memastikan bahwa keputusan untuk menikah bukanlah hasil dari dorongan sementara atau tekanan eksternal, melainkan keputusan yang matang dan didasarkan pada kesadaran penuh akan tanggung jawab dan kewajiban yang akan datang. Proses bimbingan ini juga membantu mempelai untuk menyelaraskan kehendak batin mereka dengan pernyataan eksternal yang akan mereka buat dalam upacara perkawinan, sehingga kesepakatan yang diikrarkan benar-benar mencerminkan kehendak dan komitmen yang tulus.
Utuh (integral)
Kesepakatan untuk membentuk kontrak perkawinan harus mencakup semua tujuan fundamental dari perkawinan sesuai dengan hukum kanonik. Kanon 1055-1056 menyatakan bahwa perkawinan adalah perjanjian yang diarahkan pada kebaikan suami-istri serta untuk prokreasi dan pendidikan anak-anak. Oleh karena itu, setiap kesepakatan yang dengan sengaja meniadakan salah satu dari tujuan-tujuan ini dianggap tidak sah. Misalnya, jika salah satu pihak dalam perkawinan menolak untuk berhubungan badan, tidak mau memberikan pendidikan bagi anak-anak, atau berencana untuk menikah hanya sementara dengan niat untuk bercerai di kemudian hari, maka kesepakatan tersebut bertentangan dengan esensi dan tujuan dari perkawinan.
Setiap kesepakatan yang dengan sengaja meniadakan tujuan-tujuan ini tidak memiliki tempat dalam konsep perkawinan yang diajarkan oleh Gereja. Hukum kanonik menegaskan bahwa untuk sahnya suatu perkawinan, kedua mempelai harus menyetujui seluruh tujuan perkawinan tanpa pengecualian. Ini memastikan bahwa ikatan perkawinan yang terbentuk adalah lengkap dan integral, mencakup semua aspek yang diharapkan oleh Gereja. Dengan demikian, setiap tindakan atau niat yang bertentangan dengan tujuan ini mengarah pada kesepakatan yang cacat dan oleh karenanya perkawinan tersebut tidak sah. Dalam hukum kanonik, kesepakatan perkawinan harus mencerminkan komitmen penuh dan tanpa syarat terhadap semua tujuan perkawinan, sebagai dasar untuk membentuk kontrak perkawinan.
Timbal-balik (reciprokal)
Kontrak perkawinan dalam hukum kanonik bercorak bilateral, artinya melibatkan dua individu yang saling memberikan diri mereka secara penuh untuk membentuk sebuah kesatuan. Kesatuan ini secara khusus diwujudkan melalui kesepakatan yang diucapkan secara sah dan legitim. Dalam prosesi perkawinan, kedua mempelai, yang terdiri dari pria dan wanita, mengucapkan janji-janji yang mencerminkan komitmen mereka untuk hidup bersama dalam ikatan yang tak terpisahkan. Aspek timbal-balik ini menekankan bahwa perkawinan adalah perjanjian yang melibatkan kontribusi dan penerimaan dari kedua belah pihak secara setara, di mana masing-masing pihak berjanji untuk mendukung, mencintai, dan menghormati satu sama lain sepanjang hidup mereka.
Dalam konteks hukum kanonik, aspek timbal-balik ini secara eksklusif diperuntukkan bagi dua orang yang berbeda jenis kelamin, yaitu pria dan wanita, sebagaimana dinyatakan dalam Kanon 1055 dan 1057. Kanon 1055 menegaskan bahwa perkawinan adalah perjanjian yang diarahkan untuk kebaikan suami-istri serta untuk prokreasi dan pendidikan anak-anak. Hal ini hanya dapat dicapai melalui kesatuan antara pria dan wanita, yang secara kodrati mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut. Kanon 1057 lebih lanjut menyatakan bahwa kesepakatan yang sah dari kedua belah pihak, yang diungkapkan secara legitim, merupakan elemen esensial untuk membentuk ikatan perkawinan yang sah. Kesepakatan ini harus mencakup penerimaan penuh dan tanpa syarat dari sifat dasar dan tujuan perkawinan, termasuk aspek kesatuan dan prokreasi.
Simultan
Dua mempelai yang membentuk kontrak perkawinan berdasarkan hubungan timbal balik harus hadir secara fisik, yang dikenal sebagai simultanitas fisik, atau melalui perwakilan yang sah, yang disebut sebagai simultanitas yuridis, sebagaimana yang diatur dalam Kanon 1104 § 1. Kehadiran fisik dari kedua mempelai pada saat mengikrarkan janji perkawinan menekankan pentingnya kesepakatan yang nyata dan langsung di hadapan saksi dan otoritas gerejawi. Kehadiran simultan ini memastikan bahwa kesepakatan tersebut diucapkan dan diterima secara serentak, tanpa jeda waktu yang dapat menimbulkan keraguan tentang kesungguhan dan keabsahan janji tersebut. Jika kehadiran fisik tidak memungkinkan, hukum kanonik memungkinkan penggunaan wakil yang sah, memastikan bahwa kesepakatan tetap diberikan secara simultan karena ada tanda tangan langsung dari yang memberi mandat.
Simultanitas dalam pengikraran janji nikah juga berarti bahwa kesepakatan tidak diberikan secara bertahap, tetapi dalam satu peristiwa yang utuh dan final. Seperti yang dijelaskan oleh Raharso (Bdk. 2006, hlm. 124), simultanitas ini menegaskan bahwa perkawinan adalah ikatan yang dibentuk sekali seumur hidup, tanpa ruang untuk pengulangan atau pembagian janji dalam tahap-tahap yang berbeda. Prinsip ini memperkuat konsep bahwa perkawinan adalah komitmen yang permanen dan tidak dapat dibatalkan oleh salah satu pihak secara sepihak setelah ikatan tersebut terbentuk. Kesepakatan yang diberikan secara simultan memastikan bahwa kedua mempelai menyadari sepenuhnya konsekuensi dari komitmen yang mereka buat, dan bahwa mereka masuk ke dalam ikatan perkawinan dengan kesadaran dan keinginan yang utuh dan bulat.
Tidak bisa ditarik kembali(irrevocable)
Prinsip primer dari perkawinan ialah satu (unitas) dan tak terceraikan atau tak terputuskan (indissolubilitas) sebagaimana yang ditandaskan dalam kan. 1099. Prinsip ini menegaskan bahwa kontrak perkawinan memiliki sifat yang tetap, mengikat, dan berlangsung seumur hidup. Kesatuan berarti bahwa perkawinan adalah ikatan eksklusif antara satu pria dan satu wanita, yang saling memberikan diri mereka secara penuh dan tanpa syarat. Tak terceraikan berarti bahwa ikatan ini tidak dapat diputuskan oleh pihak mana pun setelah kesepakatan tersebut diucapkan secara sah. Sekali janji perkawinan diikrarkan secara legitim, perkawinan tersebut dianggap sah dan tidak bisa ditarik kembali, kecuali terdapat halangan-halangan yang menggagalkan atau kesepakatan tersebut mengalami kecacatan sejak awal.
Kesepakatan perkawinan yang sah menuntut bahwa kedua mempelai sepenuhnya memahami dan menerima bahwa ikatan ini adalah untuk seumur hidup. Mereka diharapkan untuk menjalani kehidupan bersama dalam cinta, saling mendukung, dan bekerja sama dalam segala aspek kehidupan mereka, termasuk dalam membesarkan dan mendidik anak-anak. Hukum kanonik mengajarkan bahwa ikatan perkawinan ini adalah cerminan dari hubungan Kristus dengan Gereja-Nya. Oleh karena itu, setiap upaya untuk memutuskan ikatan perkawinan dianggap bertentangan dengan sifat dasar dan tujuan dari perkawinan itu sendiri.

No comments:
Post a Comment