Perkawinan Beda Agama?




Dalam Gereja Katolik perkawinan beda agama pada prinsipnya itu dilarang.[1]  Gereja menegaskan dalam KHK 1086 § 1 “Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah.” Dalam kanon tersebut secara tersirat mengatakan bahwa Gereja Katolik melarang perkawinan beda agama. Larangan perkawinan beda agama bukan hanya diterapkan oleh otoritas Gereja namun hampir semua agama menerapkannya. 

Dr. Yohanes Servatius Lon menunjukkan dua faktor yang menjadi alasan yang mendorong para pemimpin agama melarang pernikahan beda agama.[2] Pertama, keyakinan akan kebenaran eksistensial agamanya. Setiap pemimpin pasti memiliki keyakinan bahwa agamanyalah yang paling benar sehingga mereka terpanggil untuk mewartakan kebenaran itu kepada umatnya. Kedua, keyakinan akan hakikat perkawinan. Perkawinan adalah sebuah persekutuan yang mencakup semua aspek pasangan suami-istri. Jika keduanya berbeda iman atau agama maka akan sulit membayangkan terwujudnya kesatuan yang menyeluruh antara suami dan istri.

Gereja Katolik memberi tiga alasan melarang perkawinan beda agama. Pertama, perkawinan antara dua orang yang berbeda keyakinan akan menyulitkan mereka untuk melaksanakan dan mewujudkan imannya masing-masing. Kedua, perkawinan beda agama akan menyulitkan pendidikan anak. Pendidikan bagi anak merupakan salah satu tujuan dari perkawinan katolik. Apabila suami istri mempunyai agama yang berbeda tentu akan menyulitkan anak untuk berkembang dalam imannya, karena dididik oleh dua orang yang berbeda agama. Ketiga, perkawinan beda agama tidak menunjukkan kesatuan antara Yahweh dan umatNya, antara Kristus dan GerejaNya. 

Perkawinan beda agama adalah salah satu dari dua belas halangan yang menggagalkan perkawinan (Impedimentum dirimens). Itulah mengapa perkawinan beda agama dianggap tidak sah. Namun halangan ini bisa didispensasi karena merupakan kategori hukum gerejawi.[3] Artinya bahwa halangan perkawinan beda agama atau disparitas cultus diatur atau direservasi oleh otoritas gereja dengan mengikuti  syarat-syarat sebagaimana diatur dalam kanon 1125:

Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

10 pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;

20 mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;

30 kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.

Ketiga syarat-syarat di atas mengikat secara penuh pihak Katolik. Pihak buka katolik tidak terikat atas hukum dan peraturan. Namun, pihak bukan katolik diharapkan mengetahui janji dan kewajiban pihak katolik.[4] Kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.

    Selain tiga syarat di atas, ada juga syarat lain yang diatur dalam Kanon 1126: “Adalah tugas Konferensi para Uskup untuk menentukan baik cara pernyataan dan janji yang selalu dituntut itu harus dibuat, maupun menetapkan cara hal-hal itu menjadi jelas, juga dalam tatalahir, dan cara pihak tidak Katolik diberitahu.” Dari kanon ini ditegaskan beberapa hal berikut: pertama, dispensasi haruslah diberikan secara tertulis oleh otoritas yang berwenang yaitu uskup atau wakil uskup; kedua, permohonan dispensasi harus dibuat secara tertulis oleh pemohon dan dilampirkan dengan surat pernyataan perjanjian baik dari pihak Katolik maupun yang bukan Katolik.[5]. pernyataan perjanjian dari pihak katolik dan pihak bukan Katolik yaitu syarat-syarat yang terdapat dalam kanon 1125.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perkawinan beda agama tidak dapat dianggap sebagai sakramen karena sakramen perkawinan hanya berlaku jika dilaksanakan antara dua orang yang dibaptis. Meskipun tidak memenuhi syarat sebagai sakramen, otoritas Gereja dapat memberikan dispensasi bersyarat karena halangan ini tergolong dalam hukum Gerejawi. Jika pasangan yang bukan Katolik meminta untuk dibaptis menjadi Katolik, perkawinan tersebut secara otomatis menjadi sakramen tanpa perlu adanya pembaharuan janji perkawinan.

 

Penulis: Fr. Frums Nggajo

Editor: Fr. Rio Batlayeri



[1] Antonius Padua Dwi Joko, “Perkawinan Campur dan Beda Agama: Sikap dan Kebijakan Gereja,” Lux et Sal 1, no. 2 (18 April 2021): 177, https://doi.org/10.57079/lux.v1i2.17.

[2] Lon, Hukum Perkawinan Sakramental Dalam Gereja Katolik, 150.

[3] RD Yustinus Joned, “Perkawinan Beda Agama,” Keuskupan Sufragan Bogor (blog), 17 Februari 2015, https://keuskupanbogor.org/2015/02/18/perkawinan-beda-agama/.

[4] Joko, “Perkawinan Campur dan Beda Agama,” 123.

[5] Lon, Hukum Perkawinan Sakramental Dalam Gereja Katolik, 155.


2 comments: