Manusia makhluk multikulturalis. Maksudnya ialah, setiap individu pada dasarnya memiliki suku, budaya, ras, ideologi dan terlebih khusus kepercayaan(agama). Sentimen ini acapkali menimbulkan pelbagai kontradiksi secara khusus dalam ranah sosial-religius. Beberapa dekade tampaknya potensi pertikaian antarindividu yang condong mengatasnamakan agama kian melonjak secara signifikan. Penyebab utama dari problem ini adalah munculnya media sosial di kalangan masyarakat pada umumnya. Kehadiran dari alat teknologi ini memicu tendens pribadi atau kelompok untuk menyebarkan narasi-narasi konservatif di media sosial yang berdampak pada sikap intoleransi, fanatisme, ekstremisme, dan bahkan radikalisme dalam beragama. Untuk menghadapi tragedi seperti ini dibutuhkan kesadaran personal sekaligus sikap aktif dari semua pihak. Syarat mutlak untuk menghadapinya adalah menggaung atau melakukan kampanye moderasi beragama di media sosial. Sebab tujuan hakiki dari moderasi ialah menempatkan setiap individu pada situasi netral yang dari padanya terdapat terobosan baru yang berdaya guna bagi pencapaian kedamaian dan keadilan. Kendati demikian, dalam pengaktualisasiannya tak sedikit orang yang hilang kendali dan terjebak karena kian berkonfrontasi dengan pelbagai postingan yang keras atau fanatik. Olehnya itu muncul pertanyaan praktis, bagaimana membangun moderasi beragama di media sosial?
Ada dua hal sentral yang dapat dijadikan sebagai langkah-langkah pembangunan moderasi beragama antara lain: Pertama, mengembangkan pola pikir dan tindakan manusia (actus humanus) melalui lembaga pendidikan. Untuk mendukung semuanya itu para pendidik perlu melatih anak-anak didiknya supaya mampu mengembangkan literasi digital yakni kemampuan menggunakan, memahami, mengelola, serta melakukan evaluasi terhadap teknologi yang sedang berkembang. Model pendidikan ini bisa memberi peluang bagi para peserta didik untuk meningkatkan potensi dan kreativitasnya dalam mengkategorisasi jenis-jenis informasi, baik yang berkualitas maupun yang tidak etis. Selain itu perlu juga membudayakan critical thinking yakni penalaran yang tajam terhadap satu atau dua argumen berbeda. Hal tersebut dapat dimanifestasi melalui model pembelajaran dialektis, misalnya memberikan tanggung jawab kepada siswa atau siswi dalam rupa pembuatan materi dan presentasi(diskusi). Kegiatan praktis ini secara kasat mata tampak sederhana namun dapat berdaya guna bagi peningkatan pola pikir seseorang dalam menganalisis dan mengkritik, serta tidak terburu-buru menerima pelbagai pandangan atau argumen begitu saja. Dari praktek dan kebiasaan seperti ini, peserta didik dapat menangkis narasi-narasi intoleran, eksklusif dan radikalisme. Kedua, Intentional State (Suasana Batin). Hal ini bertujuan guna mengatasi terjadi konflik akibat perbedaan. Olehnya itu dibutuhkan kesadaran moral. Namun kesadaran itu akan tercapai ketika seseorang mulai mengontrol emosinya seperti perasaan benci menjadi belajar sabar dan berusaha untuk menyayangi, kecewa jadi bahagia dan lain sebagainya.
Penulis: Fr. Rio Batlayeri

No comments:
Post a Comment