Sebelum masuk dalam refleksi teologis, saya ingin menceritakan sedikit kisah yang melatarbelakangi saya menulis reflekasi ini.
Antoneta
Narpenda, seorang gadis cantik asal Ambon, baru saja menyelesaikan studinya di
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Setelah mendapat gelar S1, ia
bertekad kembali ke kampung halamannya untuk mengabdikan diri. Ia sudah memesan
tiket pesawat sehari sebelumnya, dengan jadwal penerbangan Senin, 24 Oktober
2017, pukul 08.00 WIB.
Keesokan
harinya, Antoneta berangkat menuju bandara dengan hati gembira. Namun, di
tengah perjalanan, ia terjebak dalam kemacetan yang panjang. Waktu terasa
berjalan cepat, sementara mobil-mobil di depannya seperti tak bergerak. Ketika sampai
di bandara, ia mendapati pesawatnya telah berangkat. Rasa kecewa dan sedih
menghampiri, dan ia pun terduduk lesu di kursi ruang tunggu.
Dua jam
kemudian, seorang petugas bandara bernama Anton melihat Antoneta yang tampak
murung. Merasa iba, Anton mendekatinya dan bertanya, “Apa yang terjadi?”
Antoneta
menceritakan nasib buruk yang baru saja dialaminya. Mendengar cerita itu, Anton
segera menawarkan bantuan. Tanpa banyak bicara, ia pergi untuk memesan tiket
baru untuk Antoneta. Tak lama, ia kembali dengan senyum hangat sambil
menyerahkan tiket yang sudah dipegangnya.
“Sekarang
kamu bisa pulang,” kata Anton dengan lembut.
Antoneta
terharu. Ia tak menyangka bahwa seorang petugas bandara yang baru dikenalnya
akan begitu baik hati membantunya. Baginya, Anton telah menjadi sosok yang
membuat harapannya untuk pulang tetap hidup. Kebaikan sederhana itu
meninggalkan kesan mendalam di hati Antoneta, seolah-olah pertemuan singkat
dengan orang asing dapat menjadi bagian dari perjalanan yang tak terlupakan.
Cerita di atas menggambarkan perjalanan kaum beriman
yang telah meninggal menuju keselamatan. Antoneta, gadis yang berusaha pulang,
melambangkan jiwa yang merindukan persatuan dengan Sang Pencipta. Namun,
kemacetan menjadi penghalang.
Kemacetan ini adalah simbol dosa yang menahan dan menjauhkan jiwa dari tujuan akhirnya. Jiwanya belum benar-benar suci untuk Bersatu dengan Allah. Lalu apa yang harus diperbuat? Satu-satunya jalan ialah menanti doa dari mereka yang masih hidup.
Dalam kondisi tersebut, hadir seorang petugas bandara yang memperlihatkan kepedulian. Petugas ini melambangkan seorang pendoa, seseorang yang dengan penuh kasih dan perhatian memohonkan keselamatan bagi jiwa yang membutuhkan. Melalui bantuan "tiket" (doa) yang diberikannya, Antoneta akhirnya dapat menuju "pesawat."
Pesawat dalam cerita ini melambangkan Yesus Kristus. Sebagai Juru Selamat, Yesus mempersatukan jiwa-jiwa dalam kemuliaan surgawi bersama Bapa. Dengan doa dari seorang pendoa, jalan bagi jiwa untuk mencapai keselamatan melalui Kristus terbuka. Inilah kasih yang sejati.
Kemacetan ini adalah simbol dosa yang menahan dan menjauhkan jiwa dari tujuan akhirnya. Jiwanya belum benar-benar suci untuk Bersatu dengan Allah. Lalu apa yang harus diperbuat? Satu-satunya jalan ialah menanti doa dari mereka yang masih hidup.
Dalam kondisi tersebut, hadir seorang petugas bandara yang memperlihatkan kepedulian. Petugas ini melambangkan seorang pendoa, seseorang yang dengan penuh kasih dan perhatian memohonkan keselamatan bagi jiwa yang membutuhkan. Melalui bantuan "tiket" (doa) yang diberikannya, Antoneta akhirnya dapat menuju "pesawat."
Pesawat dalam cerita ini melambangkan Yesus Kristus. Sebagai Juru Selamat, Yesus mempersatukan jiwa-jiwa dalam kemuliaan surgawi bersama Bapa. Dengan doa dari seorang pendoa, jalan bagi jiwa untuk mencapai keselamatan melalui Kristus terbuka. Inilah kasih yang sejati.
“Cinta kasih Kristiani tak mengenal
batas sehingga memungkinkan kita untuk mengasihi mereka yang telah meninggal”.[1] Dalam ajaran Gereja
Katolik, mendoakan orang yang telah meninggal adalah wujud kasih yang tulus. Kasih
ini tidak terbatas pada dunia fisik, melainkan melampaui batas-batas kehidupan.
Sayangnya, tidak semua orang memahami konsep ini.
Sebagian, termasuk beberapa kalangan Protestan, menolak praktik mendoakan orang
yang telah meninggal. Dalam sebuah video di TikTok, seorang pengikut Protestan
berpendapat bahwa “siapa saja yang telah meninggal tidak lagi memiliki
koneksi aktual dengan manusia yang masih hidup. Itu artinya tidak ada gunanya
mendoakan orang yang sudah mati.”[2]
Namun, argumen itu tidak sebanding dengan kasih
Kristus. Kasih Kristus melampaui segala sesuatu, menyatukan segala sesuatu dan
menciptakan hubungan yang tak terputus. Melalui kasih itu, kita tetap memiliki
koneksi aktual, tak terputus, dan tak berhingga dengan mereka yang telah
meninggal, baik yang sedang berada di api penyucian maupun mereka yang sudah
berbahagia di surga. Sekali lagi saya tekankan, bahwa kasih Kristus
menyatukan semuanya!
Orang yang telah dibaptis dipersatukan dengan Allah,
diangkat menjadi anak-Nya, dan digabungkan sebagai pewaris kerajaan-Nya(anggota
Gereja). Dalam segala hal umat beriman diinkorporasikan ke dalam satu tubuh
rohaniah yang dikepalai oleh Kristus, sang juru selamat. Di dalamnya setiap
pribadi memperoleh jaminan keselamatan kekal yang sejak semula ditentukan oleh
Sang Bapa bagi manusia yang adalah ciptaan-Nya.
Pemenuhan segala rencana keselamatan itu tampak secara
utuh melalui Anak Domba yang ditinggikan di atas kayu salib sebagai raja segala
raja yang menyelamatkan. Semuanya itu dilakukan-Nya atas dasar kasih, dan
memang Ia adalah sumber dari segala kasih itu yang mewujud konkret dalam
pengorbanan-Nya. Itulah mengapa Ia mengajarkan kepada semua orang tentang hukum
yang paling utama: ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan
yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung
seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."(Mat.22:37-40).
Kasih itu adalah realitas konkret dari iman yang
memungkinkan kita (yang masih hidup) untuk bersekutu dengan mereka yang telah
meninggal. Mengapa demikian? Karena mereka yang telah meninggal menerima iman
yang sama yakni menjadi anggota Gereja yang sah. Sehingga walaupun mereka telah
meninggal tetapi tetap menjadi milik Tuhan (anggota Gereja). Hal ini sangat
jelas diungkapkan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma 14:8: “Sebab
jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk
Tuhan. Jadi baik hidup maupun mati, kita adalah milik Tuhan.”
Sepenggal cerita Pesawat keselamatan ini kiranya
menjadi gambaran jelas mengenai relasi yang tak terbatas Antara Allah dengan
Manusia; manusia dengan sesamanya. Dan pokok dari semuanya ialah Kasih. Karena
jika seorang bertindak atas dasar kasih maka ia tidak lagi berada di bawah
hukum melainkan di atas hukum. Sebab dari semula kita memang ditentukan bukan
menjadi hamba dosa melainkan anak-anak terang yang dimeteraikan dalam darah
Anak Domba sebagai jaminan menuju kekudusan (hidup yang kekal).
Semoga kita saling mendoakan agar yang masih hidup
senantiasa berjalan seirama dengan karunia ilahi yang oleh Roh Kudus dituntun
untuk memperoleh pengetahuan akan keselamatan; dan yang sudah mati di dalam
Kristus tidak akan lenyap, melainkan disucikan dan digabungkan bersama dengan
Allah Bapa sang kebenaran yang dari semula sampai kekal tetap memegang
janji-Nya dengan Abraham Bapa leluhur kita.
Penulis: Fr. Rio Batlayeri
Bersitirahatlah dalam damai! Ad Vitam Aeternam!
[1] Lih. Buku Misa Hari Minggu dan Hari Raya, 02 November: Peringatan
Semua Orang Beriman
[2] Videonya dapat disaksikan di Tiktok @sahabatyesusministry(IMAN
KRISTEN) Mengapa orang Kristen tidak boleh mendoakan orng mati? Sekalipun itu
keluarga sendiri?#tanyajawabAyatAlkitab#TanyaJawabImanKristen#SeputarImanKristen

No comments:
Post a Comment