Pekan Biasa XV
Yes. 7: 1-9;Mzm. 48:2-3a,3b-4,5-6,7-8; 11: 20-24
Sukacita, kegembiraan, keberhasilan dan kesuksesan yang kita alami saat ini merupakan rahmat yang dicurahkan oleh Allah kepada kita. Rahmat itu akan berdaya guna bagi keselamatan apabila diaktualisasikan dalam tindakan yang selaras dengan kehendak Allah. Namun, akan menjadi ancaman yang menyengsarakan apabila rahmat itu dipergunakan untuk berbuat dosa seperti menghancurkan orang lain, alam dan lebih parahnya lagi ialah melupakan siapa yang memberikan rahmat itu. Perilaku demikian akan membuat kita menjadi hamba dosa dan pastinya tidak akan selamat. Hal tersebut terungkap secara jelas dalam bacaan Injil hari ini di mana Yesus mengecam kota-kota yang hidup dalam kejahatan.
“Celakalah kamu Khorazim! Celakalah engkau Betsaida! Celakalah engakau Kapernaum!” Ungkapan ini disampaikan oleh Yesus karena orang-orang yang hidup di kota-kota itu tidak mau bertobat dan berbalik kepada Allah. Sebagai manusia yang beriman, pertobatan harus menjadi sikap utama. Mengapa demikian? Karena pertobatan merupakan langkah awal untuk memperoleh sukacita dan kegembiraan yakni keselamatan yang disediakan oleh Kristus sendiri. Kendati demikian, syarat untuk memperoleh pertobatan ialah membaca dan merenungkan sabda Allah. Sebab tidak mungkin orang dapat bertobat tanpa mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allah. Senada dengan itu terungkap jelas dalam bait pengantar injil, yakni: “Janganlah bertegar hati tetapi dengarkanlah Sabda Tuhan.” Maksudnya ialah, melalui Sabda-Nya, manusia dapat mengetahui mana yang baik dan menyelamatkan sekaligus apa yang jahat dan tidak menyelamatkan.
Ketika manusia sudah membaca Kitab Suci dan menemukan segala yang benar maka ia akan mampu menerapkan rahmatnya dalam rupa potensi dan bakat-bakat yang dimiliki salah satunya ialah memperjuangkan kebenaran itu. Dengan cara seperti ini maka kecaman yang disampaikan oleh Yesus tidak akan menimpa kita. Namun dalam kenyataan, seringkali manusia dewasa ini, ketika mengikuti misa di gereja atau saat pembacaan Sabda dan homili, tak sedikit orang lebih memilih untuk melihat whatsapp, tiktok, twitter, instagram di ponselnya. Akibatnya mereka tidak tahu apa yang harus dibuat dan diperjuangkan dalam hidup sehari-hari demi memperoleh keselamatan. Karena ketidaktahuan itu, sehingga akhir-akhir ini terjadi krisis persekutuan dan persaudaraan. Bahkan nilai solidaritas dan toleransi tidak lagi diindahkan sehingga telah terganti dengan kerusuhan, perang, pemberontakan, penistaan, pembunuhan dan kasus-kasus kehancuran lainnya.
Selanjutnya, di media sosial dan TV kita dapat menyaksikan tragedi mahasiswa yang malang. Misalnya, seringkali mereka melakukan demo di mana-mana tapi yang diperjuangkan bukanlah kebenaran melainkan menambah satu kehancuran dan penderitaan dari banyaknya persoalan bangsa Indonesia yang belum diselesaikan hingga saat ini. Perbuatan ini sungguh memprihatinkan bahwasanya pengetahuan dan kecerdasan mereka, tidak digunakan untuk melaksanakan kehendak Allah yakni melakukan perbuatan baik melainkan sebaliknya. Karena itu kecaman yang disampaikan oleh Yesus tadi menjadi ancaman bagi manusia saat ini. Lalu bagaimana dapat mengatasi gejolak ini dan mengusahakan pertobatan?
Untuk dapat tiba pada pertobatan maka ada tiga hal sentral yang perlu diusahakan. Pertama, being honest with all people(kejujuran). Sikap yang pertama ini menunjuk dua sisi yakni jujur terhadap diri sendiri, misalnya mengeluarkan topeng kemunafikan pribadi. Maksudnya ialah hidup seturut rahmat yang dimiliki dan menjadi diri sendiri; dan jujur terhadap sesama. Kedua, being well disciplined(hidup disiplin). Sikap yang kedua ini menjadi aktualisasi dari kejujuran. Melalui disiplin orang akan tahu membuat planning harian, misalnya waktu berdoa dan membaca Kitab Suci, bekerja, belajar, bermain dan lain sebagainya. Ketiga, getting along with people(mudah bergaul dan berkomunikasi dengan sesama). Sikap yang ketiga ini mau menekankan bahwa orang lain adalah partner kerja dalam memperjuangkan kesejahteraan bersama. Tetapi lebih dari itu ialah agar setiap orang tidak hidup di dalam dirinya sendiri tetapi mau terbuka dan menjalin relasi interpersonal dan selalu memiliki kepekaan untuk menolong yang menderita terlebih khusus mereka yang secara sosial dimarginalkan. Olehnya itu perjuangkanlah kebenaran melalui pertobatan yakni hidup jujur, disiplin dan terbuka untuk menerima sesama.***(Fr. Rio Batlayeri)

No comments:
Post a Comment