Terkadang kita sering melakukan sesuatu sesuai kemauan dan
kehendak pribadi. Kita berlari mengejar segala yang kita inginkan, seolah
kebahagiaan terletak pada kepuasan diri. “Aku mau ini, aku mau itu, aku mau
semuanya” demikianlah suara hati yang digiring oleh keinginan duniawi,
menjadi tirai yang menutupi pandangan kita terhadap apa yang sesungguhnya baik
dan benar. Keinginan pribadi, dengan segala daya tariknya, dapat menjadi
penjara yang mengurung kita dalam lingkaran egoisme. Di sinilah letak
kecelakaan terbesar yang jarang kita sadari. Kita terjebak dalam bayang-bayang
kemauan sendiri, menjauh dari cahaya kehendak Ilahi.
Hari ini ketiga bacaan membantu kita untuk hidup sesuai
dengan kehendak Allah. Yesaya mengungkapkan bahwa keterbukaan dan kesiapsediaan
menyerahkan diri kepada kehendak Allah adalah syarat untuk melihat terang.
Terang itu adalah kebenaran; dan kebenaran itu adalah Allah sendiri. Sebab Ia
senantiasa berkenan kepada mereka yang takwa dan berharap akan kasih setia-Nya.
Ia akan melepaskan mereka dari maut dan memelihara hidup mereka pada masa
kelaparan.
Yesus, Putra Allah yang hidup, menunjukkan kepada kita
teladan ketaatan yang sempurna kepada kehendak Bapa. Dalam kemanusiaan-Nya, Ia
merasakan penderitaan yang kita alami. Sekalipun Ia merasakan segala derita
manusia, ia tidak berbuat dosa. Inilah kemurnian sejati: ketaatan tanpa syarat,
penyerahan total kepada rencana Bapa. Kelemahan manusiawi yang dirasakan-Nya
tidak menjadi batu sandungan, tetapi justru menjadi jalan untuk merangkul
seluruh umat manusia dalam cinta kasih yang tidak terbatas.
Keinginan Yakobus dan Yohanes mencerminkan hasrat manusia
yang sering salah memahami arti kebesaran; mereka mengejar takhta, bukan
pelayanan, merindukan kemuliaan tanpa menatap derita. Dengan lembut namun
tegas, Yesus menuntun mereka pada makna sejati: “Dapatkah kamu meminum
cawan-Ku?” Ia mengajak mereka menyadari bahwa kemuliaan bukanlah soal tempat
terhormat, melainkan kerelaan mencinta sampai akhir, mengosongkan diri demi
kebaikan yang melampaui diri.
Marilah kita menyerahkan diri pada kehendak Allah,
membiarkan keinginan kita luluh dalam kasih-Nya yang membentuk jiwa bagai tanah
liat di tangan Sang Seniman. Di tengah dunia yang bising dengan ambisi
dan bayang-bayang palsu, kita diajak untuk melepaskan belenggu keinginan
pribadi, dan menemukan kebebasan sejati dalam rencana-Nya yang melampaui batas.
Dalam penyerahan kepada-Nya, kita menjadi lebih dari sekadar pencari makna;
kita adalah pembawa cahaya yang mengusir kelam di tengah dunia yang haus akan
harapan sejati. Kita adalah pelayan bagi semua. Karena yang terbesar adalah
yang menjadi pelayan; dan yang terkemuka adalah yang menjadi hamba. Karakter
utama dari pelayan atau hamba adalah taat pada tuannya. Ingat: “Taat pada
tuannya”!!
Penulis: Fr. Rio Batlayeri

No comments:
Post a Comment